Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah

Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah
Ibadah Haji adalah bermaksud mendatangi Bayt Allah SWT untuk amal ibadah tertentu dilakukan pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu pula. Sedangkan ibadah Umrah, secara lughawi, berarti al Ziyarah, dan secara istilah adalah mendatangi Baitullah untuk menunaikan ibadah tertentu, yakni thawaf dan sa'i.

Umrah merupakan sebagian dari rangkaian ibadah haji yang tidak bisa dilepaskan. Sehingga dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang melakukan ibadah umrah terlebih dahulu. Disamping umrah wajib, ada umrah sunnah yang dapat dilaksanakan kapan saja, baik pada musim haji atau pun waktu yang lain.

Para Ulama Fiqh menyepakati bahwa ibadah haji dan umrah hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan biaya, fisik dan waktu. Hal ini mengacu kepada firman Allah SWT;

"Dan Allah mewajibkan atas manusia, haji ke Baitullah bagi yang mampu mengerjakannya" (QS Ali Imran 97)

"Sempurnakan haji dan umrah (hanya) karena Allah" (QS Al Baqarah 196)

Quran Surat Ali Imran ayat 97 tersebut menjadi dasar bahwa haji diwajibkan hanya kepada umat Islam yang memiliki kemampuan.

Bulan Februari lalu, redaksi menemui Wakil Amirul Haj Indonesia, KH Hasyim Muzadi, di kediamannya, untuk mendapatkan gambaran apa saja yang menjadi prasyarat kesempurnaan ibadah haji sehingga seseorang yang pulang dari ibadah ke tanah suci tersebut meraih kemabruran.

Berikut perbincangan kami:

Melihat Indonesia dengan jumlah jamaah haji dan umrah yang begitu besar, setiap tahunnya bisa mencapai ratus-ribuan orang.

Menurut Kyai, bagaimana penanganan pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah di negeri kita ini?

Ya, menurut saya pelaksanaan kedua ibadah itu, terutama haji kita ini, kalau diharapkan sempurna itu sangat sulit. Bisa jadi memang nggak bisa. Karena, antara orang yang mau berangkat jumlahnya terus menerus bertambah, sedangkan kemampuan melayani dari pemerintah masih terbatas. Jadi tidak seimbang. Saya katakan, ya sudah seperti ini saja sebaiknya... Alhamdulillah.

Kalau ada orang yang berpikiran mau diswastakan atau sebagainya, lha ya malah 'hancur-hancuran'. Itu nanti bisa jadi seperti TKI dan TKW, yang setiap orang ikut-ikutan mengurusi, dan malah banyak yang terlantar disana, nggak bisa pulang dan segala macam bisa terjadi. Ya, sudah dilakukan saat ini ya seperti ini saja sudah cukup, sekali pun pemerintah menangani pun belum sempura.

Tidak sempurnanya kenapa, Kyai?

Ya, pertama karena jumlah orang yang ingin naik haji, tidak imbang dengan kemampuan quota-nya. Quota-nya hanya satu persen dari jumlah penduduk, yang ingin haji lebih dari dua sampai tiga persen. Jadi sisanya mengantri dan harus menunggu lama.

Dalam masalah ini, perlu orang yang sudah naik haji, mestinya mendukung mereka yang belum haji. Jangan pula, yang sudah haji, naik haji lagi, sementara yang lainnya lama kebagian.

Kedua, karena tidak imbangnya antara kemampuan dengan kemauan, maka umrah menjadi jalan keluar, karena tidak terikat waktu. Nah, tinggal sekarang, umrah ini yang terpenting adalah fokus ibadahnya harus terus ditingkatkan, jangan pada pariwisatanya. Kemabruran itu disebabkan karena kesucian niatnya, kebersihan bekalnya, kebersihan manasiknya. Itu yang harusnya diutamakan.

Kalau soal akomodasinya itu terserah kemampuan 'isi saku' masing-masing jamaah. Semakin mahal hotelnya yang pasti semakin baik.

Tapi bagaimana orang haji dan umrah bisa meraih kemabruran?

Ya itu harus fokus pada esensinya. Jangan bicara melulu soal sarananya, meributkan misalnya, tenda yang robek atau roboh, makanan yang kurang sesuai, meskipun itu memang penting. Tetapi kenapa tidak memberi perhatian, pada wuqufnya orang-orang kurang sempurna, kesalahan-kesalahan waktu tawaf, dan dari sisi fiqh. Mestinya kan begitu. namun sayangnya itu tidak dilakukan.

Semua itu diperlukan persiapan tidak hanya fisik, mental, tapi juga amalan yang dilakukan sebelum, selama di tanah suci, dan pasca berhaji. Kita musti menata hati kita dulu sebelum berangkat agar muncul keikhlasan. Penataan hati dalam menyambut ibadah terbesar dalam rukun Islam itu sangat penting agar ketika beribadah di tanah suci terasa hingga batin kita.

Jadi mereka yang mau berhaji harus ancang-ancang melengkapi shalatnya, melaksanakan kewajiban terhadap Allah, perbaiki hubungan antar manusia, dan perbanyak sunnah, dan yang lainnya, mengikuti pelatihan manasik itu juga dari pembentukan niat, hukum manasiknya, peralatan yang halal.

Apakah seorang calon jamaah harus melakukan sendiri atau perlu adanya pembimbing?

Calon Jamaah ini akan bisa menata diri, membangun keikhlasannya, ya perlu dilatih, dibimbing, diberitahu mana yang salah mana yang benar. Nah, yang membimbing ini siapa? Bisa kelompok-kelompok yang mengkoordinir, atau pun pihak yang ditunjuk oleh pemerintah. Dan semua itu harus dilakukan secara intensif, tidak bisa secara dadakan.

Sayangnya, petugasnya sendiri pada umumnya tidak menahami hukum syari'at. Sehingga dengan demikian mestinya, prolog haji sebelum enam bulan sudah disiapkan semacam orientasi dan pelatihan dalam bentuk manasik, ataupun pemondokannya, bagaimana menumbuhkan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Jadi artinya, untuk pelaksanaan haji, peran itu harus dilakukan oleh Pemerintah?

Ya, karena kalau Haji itu menjadi urusan pemerintah, sedangkan KBIH-KBIH hanya bisa membantu kelompoknya saja. Disisi lain untuk Umrah, tentu menjadi tanggung jawab penyelenggaranya, untuk pelaksanaannya pemerintah tidak terlibat secara langsung.

Kalau pun penyelenggara umrah saat ini belum fokus pada esensi ibadah untuk para jamaah, Apakah peran mereka belum optimal, bagaimana menurut Kyai?

Ya sudahlah, sekarang masing-masing jamaah dan kelompoknya bisa memilih pembimbing yang mukhlis (seorang ikhlas), cakap dan cerdas. Yang ikhlas itu, ya dia punya niat beribadah, membantu jamaahnya bisa mabrur.

Sekarang coba disurvei saja, dikelompokkan diantara jamaah umrah itu berapa yang memang niat ibadah, berapa yang cuma ingin tahu Makkah, dan berapa yang punya niat lain, dan sebagainya. Dari indeks yang didapat, bisa tahu yang mana harus dibimbing secara serius.


Saya pikir itu penting dilakukan, karena kita sadar persepsi kita tentang ibadah itu masih rendah, mereka mengira kalau sudah berangkat haji atau umrah itu semua amal ibadahnya sudah beres.

Bagaimana pandangan Kyai, dari sisi keikhlasan para jamaah dalam beribadah haji hari ini dibanding mereka di masa lalu?

Hehe... dulu jaman Ayah saya, kalau orang berangkat Haji itu sudah tanda tangan mati. Karena dari berangkat sampai kembali itu perlu waktu enam sampai tujuh bulan, dan itu tidak jelas bagaimana keselamatannya disana. Sehingga saat orang itu berangkat biasanya digelar ritual keagamaan. Ya ditahlil, ya diadzani, berfadilah untuk amalan yang perjalanannya berisiko pada keselamatannya.

Di masa lalu, haji belum dikelola oleh pemerintah. Jamaah itu berangkat ikut rombongan haji bersama Syeikh. Mereka berangkat dengan kapal laut, bekalnya pun bukan beras tapi 'karak' alias nasi kering. Dari Jawa menuju Banda Aceh, maka itu kota ini disebut Serambi Makkah, menunggu kapal yang menuju Jeddah.

Sampai di Jeddah, mereka naik unta menuju Makkah dan Madinah, mendirikan tenda untuk istirahat dan bermalam di tengah padang pasir, berbulan-bulan. Bisa dibayangkan bagaimana keselamatan mereka. Situasi di tengah padang pasir itu pasti tidak selalu aman. Bisa saja mereka terserang penyakit, mengalami perampokan, pembunuhan setiap saat.

Jadi sekarang, jika semua sarana saat ini sudah tersedia, harusnya diterima sebagai suatu 'kemudahan' dari Allah SWT untuk menunaikan ibadah, memenuhi panggilan Allah dengan penuh keikhlasan.

Artinya, amal ibadah, baik haji atau umrah yang saat ini bisa ditempuh hanya dengan waktu yang singkat, bisa memperoleh nilai amal yang lebih di mata Allah. Jangan justru, kalah dengan mereka di masa silam yang memakan waktu berbulan-bulan dan jauh dari rasa aman.

Tapi ya, yang namanya manusia pragmatis-nya itu bertambah tinggi. Ya, seperti ini sajalah. Dulu dengan sekarang, orangkan lebih pinter sekarang... tapi untuk 'jujur', orang dulu lebih jujur, itulah sebabnya doa'anya manjur... (tertawa)

Lalu, solusinya bagaimana, Kyai?

Ya, kalau kita sudah tahu seperti itu sifat masyarakat kita, maka harus terus-menerus didorong agar keikhlasan dalam beribadah itu bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Jangan sampai, karena semua makin mudah, kita malah jadi lupa dan kehilangan esensi dari ibadah itu. Ibadah ke tanah suci itu harus ditunaikan sebagaimana ibadah, bukan berwisata.

Yang terpenting saat ini adalah esensi ibadah ini harus sungguh-sungguh dipertahankan. Kesadaran seperti ini harus dibangun terus, baik oleh masing-masing jamaah secara personal mau pun para petugas yang membimbing mereka di sana.

Kuncinya yang penting bagi mereka yang mau berangkat haji atau pun umrah, pertama yang harus diperbaiki dulu adalah niatnya, ditata hatinya. Kedua, penataan dan pelaksanaan hukum haji. Mereka yang berhaji harus mengikuti manasik agar paham rukun haji dan aturannya. Kalau kita tidak mengerti (hukum haji) sengsara.

Dan ketiga, peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk haji, dan itu bagian dari syariah juga buat mereka yang berkemampuan dan berkompeten dalam perjalanan haji itu sendiri. Tiga saja itu cukup, Insya Allah ibadahnya mabrur.

Wawancara oleh Erwin E Ananto dan Handi Pramudhita

Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah

Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah
Ibadah Haji adalah bermaksud mendatangi Bayt Allah SWT untuk amal ibadah tertentu dilakukan pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu pula. Sedangkan ibadah Umrah, secara lughawi, berarti al Ziyarah, dan secara istilah adalah mendatangi Baitullah untuk menunaikan ibadah tertentu, yakni thawaf dan sa'i.

Suami, Antara Dua Kekeliruan

Suami, Antara Dua Kekeliruan
Islam mengajarkan kepada kita menjadi seorang istri juga suami yang baik. Sungguh sayang, bila aturan Islam yang demikian adil, arif dan sempurna banyak dilanggar oleh pemeluknya termasuk dalam hal mengatur rumah tangga. Pelanggaran yang terjadi bisa karena kesengajaan, atau sikap masa bodoh terhadap apa yang menjadi syariat.

Jumrah Edisi 04 2016

Jumrah Edisi 04 2016
Bergantinya tahun maka bertambah pula usia kita, akan tetapi umur kita semakin berkurang. Dengan demikian kita menyadari bahwa kita seharusnya lebih giat untuk beramal baik sebagai bekal hidup diakhirat nanti. Karena semua kebahagiaan dan kesengsaraan yang akan menimpa seseorang tergantung amalan yang dilakukan ketika
mereka hidup di dunia.

(Klik disini untuk preview Jumrah Edisi 04 - Tahun 2016)

(Klik disini untuk download Jumrah Edisi 04 - Tahun 2016)


Dengan kehidupan yang serba singkat ini kita berupaya untuk berlomba untuk meraih amal yang shaleh, agar kelak kita tidak mengalami penyesalan yang tidak guna. Waktu adalah sangat berharga sekali dalam kehidupan ini. Sebagai pedagang waktu bisa diumpamakan sebagai uang, bagi pelajar waktu adalah ilmu. Dan juga dikatakan bahwa waktu bagaikan pedang, bila tidak bisa menggunakan pedang tersebut, maka kita akan kena 'pedang' itu.

Semoga Di awal tahun baru Hijriyah ini, ketaqwaan kita terhadap Allah SWT semakin meningkat, salah satunya dengan beribadah umrah dan haji sesuai yang diajarkan oleh Rasullullah SAW yang harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, baik pelaksanaan maupun penyelenggaraannya.

(erw)

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu
Perjalanan menantang, dalam misi menegakkan pilar Islam kelima dan terakhir...

Seiring waktu kita telah kehilangan begitu banyak tradisi yang indah dari Islam. Salah satunya adalah rombongan karavan peziarah haji, yang menjadi pemandangan sehari-hari di daratan semenanjung Arabia di masa lalu. Karavan ini adalah kelompok orang yang melakukan perjalanan jauh bersama-sama dan bertemu dengan kafilah yang lebih besar, dan dari sana mereka bergabung dalam perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji.

Jalur darat yang paling banyak diceritakan adalah dari Kairo dan dari Damaskus. Ada banyak kisah menarik tentang para peziarah haji dan perjalanan mereka. Seperti perjalanan Ibn Battuta, kisah perjalanan haji dengan kereta api, bahkan kisah mereka di atas kapal uap di awal abad ke-20. Namun dari semua kisah perjalanan ziarah haji, tantangan dan bahaya lebih banyak terjadi di masa lalu di abad ke 13, sebagai bukti keteguhan hati dan keikhlasan mereka.

Dalam sebuah perjalanan panjang ditengah gurun pasir yang terik. Sekelompok karavan bergerak perlahan melawan angin. Mereka adalah para peziarah haji yang melewatkan siang malam diatas pelana unta sementara lainnya mengikuti dengan berjalan kaki.

Kala malam tiba, dibawah langit tanpa cahaya, mereka terus melangkah mengikuti bayangan rekan-rekan mereka yang berada di barisan depan. Kusir dan penumpangnya sesekali memejam mata menikmati kantuk kemudian tersentak bangun, dan kembali terpejam. Di tengah gelapnya malam mereka melepas lelah, sambil melihat dari kejauhan tampak kereta-kereta berjalan pelan seperti menyapu permukaan gurun dengan goyangan lentera, suara samar rebana, ringkikan kuda dan unta.

Tak berapa lama, langit di timur sedikit lebih terang, menandai datangnya pagi. Rombongan kafilah kembali bersiap melangkahkan kaki di tengah hamparan pasir yang berkerikil. Saatnya matahari mulai naik memberi sedikit sengatan di kulit. Unta berdeguk, kuda pun meringkik, menolak keras untuk berdiri. Mereka sama lelahnya seperti tuan-tuan yang menunggangi mereka dan yang berjalan kaki. Namun, tanpa emosi semua kembali berjalan diatas komando yang diteriakan pemimpin rombongan kafilah.

Saat pertama kali mereka melihat satu titik kecil dalam jangkauan mata, mereka menatap dengan semangat, meskipun kembali menghilang diantara batas langit dan permukaan pasir. Dorongan semangat itu membuat kafilah berupaya menaiki Jabal Nur, sebuah bukit kecil untuk memastikan arah tujuan. Mereka mendaki lereng bukit, dan berhenti di puncak untuk memastikan titik hitam adalah ujung perjalanan mereka.

Tak jauh dari bukit tempat kafilah berdiri, ter-hampar di depan mereka Lembah Ibrahim. Tampak bangunan rumah-rumah berdinding putih, sebuah kota di tengah dataran kecil yang hijau, itulah Mekkah. Seketika tatapan mata mereka dipenuhi emosi, kerinduan yang tersimpan dalam hati, sepanjang perjalanan berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya.

Sebuah realisasi dari pengerahan tenaga yang luar biasa dari rombongan peziarah ke kota suci itu, akhirnya menemukan tujuannya, yakni Baitullah.

Perjalanan, Waktu dan Keimanan 

Selama berabad-abad, jejak kaki kuda, unta, para peziarah, dan teriakan kafilah terekam di setiap sisi lembah, di desa-desa dan masjid.

Mulai dari pantai Atlantik Afrika dan Semenanjung Iberia (di ujung barat daya Eropa, meliputi Spanyol, Portugal, Andora, Gibraltar dan sebagian Perancis) sampai pantai Pasifik. Dari kawasan Cina, dari Zanzibar di Selatan ke Kaukasus hingga sisi utara Asia Tengah. Jejak jejak itu bahkan melewati sudut desa-desa di kawasan paling terpencil dunia Islam.

Setiap peziarah haji telah melewatinya dan menyimpan memori yang begitu nyata, dalam balutan keimanan.

Setiap umat muslim bisa segera memahami bahwa dalam jaringan yang luas dari ibadah haji, mereka tidak pernah benar-benar merasa asing dengan sesama muslim dari berbagai negeri. Dendangan musiknya, gaya berpakaiannya dan aksen bahasanya bisa berbeda-beda antara mereka di Tangier dan di Delhi atau antara di Samarkand dan di Mekkah.

Tetapi kalender, etiket dan banyak lagi perilaku umat muslim selalu identik dan semuanya hampir serupa.

Di mana-mana umat muslim shalat lima kali di waktu yang sama setiap hari, menghadap ke kiblat. Di mana pun itu, mereka berpuasa bersama-sama selama Ramadhan. Mereka juga bergabung dengan jamaah lain untuk menyembelih hewan qurban di akhir ritual haji. Di mana saja mereka mengamalkan kebaikan dan mengambil hikmah dari Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. < selanjutnya >

*Ditulis oleh Erwin E Ananto.

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu
Perjalanan menantang, dalam misi menegakkan pilar Islam kelima dan terakhir...

Seiring waktu kita telah kehilangan begitu banyak tradisi yang indah dari Islam. Salah satunya adalah rombongan karavan peziarah haji, yang menjadi pemandangan sehari-hari di daratan semenanjung Arabia di masa lalu. Karavan ini adalah kelompok orang yang melakukan perjalanan jauh bersama-sama dan bertemu dengan kafilah yang lebih besar, dan dari sana mereka bergabung dalam perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji.

Jalur darat yang paling banyak diceritakan adalah dari Kairo dan dari Damaskus. Ada banyak kisah menarik tentang para peziarah haji dan perjalanan mereka. Seperti perjalanan Ibn Battuta, kisah perjalanan haji dengan kereta api, bahkan kisah mereka di atas kapal uap di awal abad ke-20. Namun dari semua kisah perjalanan ziarah haji, tantangan dan bahaya lebih banyak terjadi di masa lalu di abad ke 13, sebagai bukti keteguhan hati dan keikhlasan mereka.

Dalam sebuah perjalanan panjang ditengah gurun pasir yang terik. Sekelompok karavan bergerak perlahan melawan angin. Mereka adalah para peziarah haji yang melewatkan siang malam diatas pelana unta sementara lainnya mengikuti dengan berjalan kaki.

Kala malam tiba, dibawah langit tanpa cahaya, mereka terus melangkah mengikuti bayangan rekan-rekan mereka yang berada di barisan depan. Kusir dan penumpangnya sesekali memejam mata menikmati kantuk kemudian tersentak bangun, dan kembali terpejam. Di tengah gelapnya malam mereka melepas lelah, sambil melihat dari kejauhan tampak kereta-kereta berjalan pelan seperti menyapu permukaan gurun dengan goyangan lentera, suara samar rebana, ringkikan kuda dan unta.

Tak berapa lama, langit di timur sedikit lebih terang, menandai datangnya pagi. Rombongan kafilah kembali bersiap melangkahkan kaki di tengah hamparan pasir yang berkerikil. Saatnya matahari mulai naik memberi sedikit sengatan di kulit. Unta berdeguk, kuda pun meringkik, menolak keras untuk berdiri. Mereka sama lelahnya seperti tuan-tuan yang menunggangi mereka dan yang berjalan kaki. Namun, tanpa emosi semua kembali berjalan diatas komando yang diteriakan pemimpin rombongan kafilah.

Saat pertama kali mereka melihat satu titik kecil dalam jangkauan mata, mereka menatap dengan semangat, meskipun kembali menghilang diantara batas langit dan permukaan pasir. Dorongan semangat itu membuat kafilah berupaya menaiki Jabal Nur, sebuah bukit kecil untuk memastikan arah tujuan. Mereka mendaki lereng bukit, dan berhenti di puncak untuk memastikan titik hitam adalah ujung perjalanan mereka.

Tak jauh dari bukit tempat kafilah berdiri, ter-hampar di depan mereka Lembah Ibrahim. Tampak bangunan rumah-rumah berdinding putih, sebuah kota di tengah dataran kecil yang hijau, itulah Mekkah. Seketika tatapan mata mereka dipenuhi emosi, kerinduan yang tersimpan dalam hati, sepanjang perjalanan berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya.

Sebuah realisasi dari pengerahan tenaga yang luar biasa dari rombongan peziarah ke kota suci itu, akhirnya menemukan tujuannya, yakni Baitullah.

Perjalanan, Waktu dan Keimanan 

Selama berabad-abad, jejak kaki kuda, unta, para peziarah, dan teriakan kafilah terekam di setiap sisi lembah, di desa-desa dan masjid.

Mulai dari pantai Atlantik Afrika dan Semenanjung Iberia (di ujung barat daya Eropa, meliputi Spanyol, Portugal, Andora, Gibraltar dan sebagian Perancis) sampai pantai Pasifik. Dari kawasan Cina, dari Zanzibar di Selatan ke Kaukasus hingga sisi utara Asia Tengah. Jejak jejak itu bahkan melewati sudut desa-desa di kawasan paling terpencil dunia Islam.

Setiap peziarah haji telah melewatinya dan menyimpan memori yang begitu nyata, dalam balutan keimanan.

Setiap umat muslim bisa segera memahami bahwa dalam jaringan yang luas dari ibadah haji, mereka tidak pernah benar-benar merasa asing dengan sesama muslim dari berbagai negeri. Dendangan musiknya, gaya berpakaiannya dan aksen bahasanya bisa berbeda-beda antara mereka di Tangier dan di Delhi atau antara di Samarkand dan di Mekkah.

Tetapi kalender, etiket dan banyak lagi perilaku umat muslim selalu identik dan semuanya hampir serupa.

Di mana-mana umat muslim shalat lima kali di waktu yang sama setiap hari, menghadap ke kiblat. Di mana pun itu, mereka berpuasa bersama-sama selama Ramadhan. Mereka juga bergabung dengan jamaah lain untuk menyembelih hewan qurban di akhir ritual haji. Di mana saja mereka mengamalkan kebaikan dan mengambil hikmah dari Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. < selanjutnya >

*Ditulis oleh Erwin E Ananto.

Dinamika Syi'ar Islam di Korea Selatan

Dinamika Syi'ar Islam di Korea Selatan
Republik Korea, atau yang lebih dikenal dengan Korea Selatan, mencakup bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara berbatasan dengan Korea Utara (Korea Selatan & Korea Utara pernah bersatu hingga tahun 1948).

Sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Laut Kuning, Jepang, yakni berada di seberang Laut Jepang atau disebut 'Laut Timur' oleh orang Korea, serta selat Korea yang berada di bagian Tenggara. Sedangkan Ibukota Korea Selatan adalah Seoul.

Peradilan Terbesar Sepanjang Sejarah Islam

Peradilan Terbesar Sepanjang Sejarah Islam
Sejarah peradaban manusia saat ini telah melewati berbagai macam peristiwa peradilan baik kecil maupun bahkan besar. Dalam suatu masa, terjadi peradilan terbesar yang tercatat dalam sejarah Islam, yakni peradilan yang terjadi di Samarkand. Sebuah kota besar, yang sekarang menjadi salah satu bagian dari Republik Rusia (salah satu Provinsi di Uzbekistan), dekat negeri Cina.

Di kala itu, penduduk Samarkand adalah penyembah berhala yang mereka buat sendiri dari bebatuan yang disemati dengan permata. Berhala-berhala itu ada pada kuil di puncak gunung. Dan kuil itu tergolong kuil khusus bagi para biarawan. Adapun selain mereka, maka mereka memiliki kuil-kuil kecil yang tersebar d tengah Samarkand. Mereka memiliki pasukan tentara yang kuat untuk melindungi masyarakat di sana.

Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah yang menjadi pemimpin umat muslimin juga memiliki pasukan elit yang paling tangguh di masa itu. Dibawah komando panglima Qutaibah bin Muslim, reputasi kekuatan pasukan muslim telah sampai juga ke negeri Cina.

Pada tahun 87 Hijriyah (705 Masehi), pasukan kaum muslimin bergerak menuju Samarkand. Kala mereka sampai di dataran tinggi Samarkand, sang Panglima Qutaibah bin Muslim memerintahkan pasukannya untuk bersembunyi di balik gunung agar penduduk Samarkand tidak melihat kedatangan pasukan kaum muslimin. Disaat yang tepat, ribuan pasukan muslim menyerbu kota itu dengan seluruh pasukan dari balik gunung, dengan sangat cepat.

Tiba-tiba saja mereka telah berada di tengah kota, menundukkannya seraya bertakbir menyebut asma Allah. Maka penduduk Samarkand tidak memiliki kekuatan apapun kecuali harus menyerah total. Sementara para biarawan berlarian menuju kuil besar di puncak gunung, para penduduk pun lari bersembunyi ke dalam rumah-rumah mereka. Situasi pun dikuasai kaum muslimin.

Karena takutnya penduduk Samarkand bahkan mereka menyuruh anak-anak untuk mencari air dan makanan. Kaum muslimin tidak menghalangi mereka, bahkan mereka membantu anak-anak tersebut dengan membawakan air serta makanan, lalu anak-anak itu masuk ke dalam rumah-rumah keluarganya dengan penuh kegembiraan seraya membawa makanan dan air.

Mulailah situasi berangsur tenang dan tentram, penduduk Samarkand kembali berniaga, bertani, dan tetap menjadi milik mereka. Keberadaan semua itu tetap seperti semula, tidak berkurang sedikitpun. Kehidupan normal pun berjalan antara kaum muslimin dan penduduk Samarkand dengan perniagaan.

Mereka mendapati bahwa kaum muslimin adalah orang-orang yang terpercaya dalam niaga, tidak berdusta, tidak menipu dan tidak berbuat zhalim. Kekaguman itu semakin bertambah dengan adanya perselisihan antara dua orang, satu dari penduduk Samarkand dan yang lain dari kaum muslimin. Ketika keduanya pergi ke Qodhi (hakim), maka Qodhi itu pun memenangkan kasus itu untuk orang Samarkand.

Lalu sampailah berita tersebut ke para rahib yang lari dan bersembunyi di kuil. Lalu mereka berkata, "Jika Qodhi mereka adil, maka pastilah khalifah mereka itu juga adil." Maka mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk pergi menghadap khalifah kaum muslimin, Umar bin 'Abdul 'Aziz rahimahullah, lalu mengabarkan kepada beliau tentang apa yang terjadi terhadap mereka karena pasukan kaum muslimin.

Lalu pergilah utusan mereka, seorang pemuda, hingga sampai di Damaskus dengan dada penuh rasa ketakutan. Saat dia melihat sebuah istana besar, dia berkata dalam hatinya, "Sesungguhnya ini adalah istana pemimpin mereka." Akan tetapi saat dia melihat manusia masuk dan keluar tanpa penghalang dan pengawasan, dia terdorong untuk masuk, lalu dia pun masuk sementara dia tidak tahu bahwa tengah memasuki masjid Umawi yang disemati batu-batu mulia, dan hiasan-hiasan keIslaman, dan tempat-tempat adzan yang menjulang.

Kemudian dia mendapati manusia ruku' dan sujud, lalu dia perhatikan tempat yang indah tersebut, dimana dia lihat kaum muslimin berbaris lurus dan rapi. Dia tercengang, bagaimana jumlah besar ini berbaris dengan begitu cepatnya?

Setelah kaum muslimin selesai shalat, dia berdiri, lalu menuju salah seorang muslim dan bertanya tentang istana Khalifah, "Di mana pemimpin kalian." Sang muslim menjawab, "Dia tadi yang shalat mengimami manusia, tidakkah kamu melihatnya?"

Dia menjawab, "Tidak."

Muslim itu berkata, "Bukankah Engkau tadi shalat bersama kami?"

Dia menjawab, "Apa itu shalat?"

Muslim itu bertanya, "Bukankah Engkau seorang muslim?" Dia menjawab, "Tidak"

Muslim itu tersenyum kemudian bertanya lagi, "Apa agamamu?"

Dia menjawab, "Agamanya para dukun Samarkand."

Muslim itu bertanya, "Apa agama mereka?"

Dia menjawab, "Mereka menyembah patung besar."

Muslim itu berkata, "Kami kaum muslimin menyembah Allah 'azza wa jalla, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun."

Orang muslim itu memberikan arah rumah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang mukmin). Lalu pemuda itu pergi mengikuti arahan tersebut. Dia mendapati sebuah bangunan rumah tua dari tanah.

Dia menjumpai seorang laki-laki di bagian tengah rumah itu sedang memperbaiki temboknya, sementara bajunya penuh dengan kotoran tanah. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya pun dia mundur dan kembali arah masjid menemui orang muslim tadi di masjid seraya berkata, "Apakah kamu mempermainkanku? Aku bertanya kepadamu tentang pemimpin kalian, lalu kamu kirim aku kepada seorang fakir yang tengah memperbaiki tembok rumah?"

Maka seorang muslim itu berdiri bersama pemuda tersebut hingga sampai ke rumah Khalifah Umar bin 'Abdil 'Aziz, Amirul Mukminin. Lalu orang muslim itu memberikan isyarat, "Dialah sang pemimpin yang tengah memperbaiki tembok." Maka pemuda itu berkata,"Janganlah kamu mempermainkan aku dua kali."

Berkatalah orang muslim itu, "Demi Allah, dialah Khalifah."

Kagetlah sang pemuda, seraya teringat dukun-dukunnya yang sombong terhadap manusia. Di saat dia terheran-heran sambil mengamati, datanglah seorang wanita bersama putranya. Wanita itu meminta kepada Amirul Mukminin untuk menambah jatah pemberian kepadanya dari baitul mal kaum muslimin, karena anaknya banyak.

Di saat wanita itu berbicara, anaknya bertengkar dengan anak Amirul Mukminin karena sebuah mainan. Lalu anaknya memukul kepala anak Amirul Mukminin, hingga kepalanya berdarah. Lantas istri Amirul Mukminin segera mengambil putranya sambil berteriak keras kepada wanita tersebut. Maka wanita itu ketakutan karena perbuatan putra kecilnya terhadap putra Amirul Mukminin.

Kemudian Amar bin 'Abdil 'Aziz masuk ke dalam rumah, lalu membalut kepala putranya, kemudian keluar menemui wanita itu seraya menenangkannya dari ketakutan, lalu mengambil mainan dari putranya dan memberikannya kepada anak wanita tersebut. Kemudian dia berkata, "Pergilah kepada bendahara, katakana kepadanya agar dia menaikkan pemberian kepadamu."

Maka istri Amirul Mukminin berkata, "Putramu telah terkena pukul, kemudian engkau menaikkan harta jatah untuknya serta memberi hadiah mainan kepada putranya?" Umar bin 'Abdul 'Aziz menjawab, "Engkau telah membuatnya takut, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, "Siapa yang membuat seorang muslim ketakutan, maka Allah akan membuatnya ketakutan pada hari kiamat…" Kemudian dia melanjutkan pembenahan tembok.

Pemuda Samarkand tersebut melihat pemandangan itu dengan sangat terheran-heran. Di sinilah dia berani untuk maju dengan langkah pelan menuju Umar bin 'Abdil ‘Aziz seraya berkata , "Anda pemimpin kaum muslimin?"

Sang Amir menjawab, "Benar, apa keperluanmu?"

Dia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku terzhalimi."

Sang Amir pun berkata, "Atas siapa kamu mengadukan perkara."

Dia menjawab, "Atas Qutaibah bin Muslim."

Maka Sang Amir tahu bahwa itu bukan pengaduan antara dua orang.

Maka pemuda utusan itu meneruskan pengaduannya, "Para dukun Samarkand telah mengutusku, dan mereka mengatakan bahwa di antara kebiasaan kalian adalah ketika kalian ingin membuka negeri manapun, kalian akan memberikan kepada mereka tiga pilihan, kalian ajak mereka kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang."

Sang Khalifah menjawab, "Ya dan termasuk hak negeri itu adalah memilih satu di antara tiga pilihan tersebut."

Pemuda itu berkata keheranan, "Dan bukankah itu termasuk hak kalian untuk memutuskan (sepihak), mengagetkan, dan menyerang?!”

Sang Khalifah menjawab, "Ya, Allah subhanahu wa ta”ala telah memerintah kami demikian, dan Rasul kami telah melarang kami dari kezhaliman."

Pemuda itu berkata, "Ada pun Qutaibah bin Muslim tidak melakukannya, bahkan dia dan pasukannya telah mengagetkan kami."
Tatkala sang khalifah mendengar hal itu, dia tidak mengeluarkan perintah apapun. Bukan termasuk kebiasaannya mendengar hanya dari satu pihak. Dia harus meyakinkan hal itu.

Dia pun mengeluarkan satu kertas kecil, lalu menulis dua baris kalimat, kemudian menutup dan menyetempelnya, lalu berkata kepada pemuda itu, "Kirimkan ini kepada Gubernur Samarkand, dia akan mengangkat kezhaliman dari dirimu."

Pemuda itupun kembali dari Damaskus menuju Samarkand, menempuh padang pasir dan gunung-gunung, dengan berkata, "Kertas, apa yang bisa dia lakukan di hadapan pasukan kaum muslimin?" Saat dia sampai di Samarkand, dia beritakan apa yang terjadi kepada dukun.

Maka mereka pun berkata kepadanya,"Berikan kertas itu kepada Gubernur." Maka pemuda itu memberikannya kepada gubernur. Gubernur merasa aneh dan heran dengan surat itu. Akan tetapi dia mengenal stempel Amirul Mukminin, maka dia pun meyakinkan dirinya bahwa surat itu benar dari Khalifah, kemudian membukanya. Dan ternyata yang tertulis di dalamnya adalah:

"Dari Amirul Mukminin kepada Gubernur Samarkand. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuhu. Angkatlah seorang hakim yang akan memberikan peradilan antara dukun Samarkand dan Qutaibah bin Muslim, dan jadilah kamu mengganti kedudukan Qutaibah." Maksud dari "jadilah kamu mengganti kedudukan Qutaibah" adalah janganlah mengganggu Qutaibah yang sibuk melakukan penaklukan ke beberapa negeri. Dia sudah cukup sibuk, karena itu wakililah dia.

Gubernur mengangkat seorang hakim dengan cepat. Akan tetapi sang hakim bersikeras untuk menghadirkan Qutaibah karena perhatiannya terhadap keadilan, serta kekhawatirannya, bahwa ada perkara samar atas gubernur yang tidak mengetahuinya kecuali Qutaibah. Maka dia menentukan janji hingga panglima itu bisa hadir.

Kala itu Panglima Qutaibah bin Muslim telah menyelesaikan perjalanannya, dan telah dekat dengan Cina untuk menaklukkannya. Kemudian datanglah perintah hakim, maka dia kembali setelah menempuh perjalanan panjang. Saat para dukun itu mengetahui kedatangan Qutaibah, mereka mulai mengucurkan keringat. Sebelum Qutaibah masuk masjid yang di dalamnya akan diadakan peradilan, dia letakkan pedangnya dan menanggalkan sandalnya, kemudian berjalan menuju depan hakim, lalu sang hakim berkata. "Duduklah kamu di sisi penuntutmu."

Peradilan pun di mulai:

Pembesar dukun berdiri seraya berkata, "Sesungguhnya Qutaibah bin Muslim masuk ke negeri kami tanpa peringatan. Sememntara seluruh negeri telah dia beri peringatan dan pilihan yakni, dakwah kepada Islam, atau membayar jizyah, atau perang, kecuali kami, dia menyerang kami tanpa peringatan."

Maka hakim menoleh kepada Qutaibah seraya berkata, "Apa bantahanmu atas pengaduan ini?"

Berkatalah Qutaibah, "Mudah-mudahan Allah memperbaiki urusan sang hakim. Peperangan itu adalah tipu daya, negeri ini adalah negeri yang besar. Seluruh negeri sebelumnya melawan, mereka tidak ridha dengan jizyah dan tidak ridha dengan Islam. Seandainya kami memerangi mereka setelah peringatan, maka mereka akan melawan kami dan akan lebih banyak lagi dari apa yang kami bunuh di tengah mereka.

Dan Alhamdulilah, dengan cara mengagetkan ini, kami telah melindungi kaum muslimin dari bahaya besar, sebagaimana juga akan menjadi mudah bagi kami untuk menaklukkan negeri-negeri setelahnya. Jika kami mengagetkan mereka, maka sesungguhnya kami telah menyelamatkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam keselamatan.”

Sang hakim berkata, "Wahai Qutaibah, apakah kamu telah mengajak mereka kepada Islam atau jizyah atau perang?"

Qutaibah menjawab, "Tidak, bahkan kami mengagetkan mereka karena bahaya besar mereka."

Berkatalah sang hakim, "Wahai Qutaibah, aku telah memutuskan, dan atasnya peradilan selesai. Wahai Qutaibah, tidaklah Allah subhanahu wa ta”ala menolong umat ini kecuali denga agama, menjauhi pengkhianatan, dan menegakkan keadilan. Demi Allah, tidaklah kita keluar dari rumah-rumah kita kecuali karena berjihad di jalan Allah. Kita tidak keluar untuk menguasai bumi, dan menipu negeri kemudian berjaya di dalamnya tanpa hak."

Kemudian sang hakim memutuskan perkara, "Aku memutuskan agar seluruh pasukan kaum muslimin keluar dari negeri ini, dan mengembalikannya kepada penduduknya, serta memberikan mereka kesempatan untuk bersiap-siap perang, kemudian memberikan mereka pilihan antara Islam, jizyah dan perang. Jika mereka memilih perang, maka perang.

Dan hendaknya seluruh kaum muslimin semuanya keluar dari Samarkand dengan berjalan kaki sebagaimana mereka memasukinya (yaitu tanpa hasil perniagaan) dan menyerahkan kota ini kepada penduduknya. Yang demikian itu demi melaksanakan syariat Allah subhanahu wa ta'ala dan sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam ."

Mulailah kaum muslimin keluar dari kota tersebut, bahkan sang hakim pun berdiri dan keluar di hadapan pandangan para dukun.

Para dukun tidak mempercayai perkara tersebut, dan mereka merasa seakan-akan tengah berada dalam mimpi. Para penduduk Samarkand melihat seluruh kaum muslimin keluar dari kota hingga kota sunyi dari kaum muslimin.

Maka pemuda utusan para dukun itu berkata, "Demi Allah, agama mereka benar-benar agama yang hak. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah."


Tidak lama setelah itu para dukun pun membaca kalimat Syahadat (masuk Islam), kemudian seluruh penduduk Samarkand pun masuk Islam dan meminta kepada kaum muslimin untuk kembali ke kota seraya mengatakan, "Kalian adalah saudara-saudara kami.”
 

------------
Sepenggal kisah peradilan terbesar dalam sejarah yang tercatat dalam lembaran sejarah masa lalu dan terabadikan untuk menjadi pelajaran bagi masa sekarang. Satu lembar dari sekian banyak lembaran sejarah ke-Islaman kita yang membuktikan akan keadilan Islam dalam segala situasi &amp; kondisi, baik terhadap sesama muslim maupun kepada selain muslim. Sebuah gambaran dari sekian banyak potret keadilan Islam yang kini mungkin telah hilang dan terlupakan.
 

Sumber:
-Syaikh Ali Thanthawi, Qashah Min al-Tarikh; Qisshah Qadhiyyah Samarkand
-Khutbah “Samahatul Islam” oleh Syaikh Muhammad Hassan -dll

Ditulis oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi, Majalah Qiblati edisi 09 tahun V

Peradilan Terbesar Sepanjang Sejarah Islam

Peradilan Terbesar Sepanjang Sejarah Islam
Sejarah peradaban manusia saat ini telah melewati berbagai macam peristiwa peradilan baik kecil maupun bahkan besar. Dalam suatu masa, terjadi peradilan terbesar yang tercatat dalam sejarah Islam, yakni peradilan yang terjadi di Samarkand. Sebuah kota besar, yang sekarang menjadi salah satu bagian dari Republik Rusia (salah satu Provinsi di Uzbekistan), dekat negeri Cina.

Rekam Jejak Kerajaan Islam di Asia Tenggara

Rekam Jejak Kerajaan Islam di Asia Tenggara
Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan berdirinya kesultanan Islam di kawasan ini. Sejarah perkembangan kesultanan Islam di Asia Tenggara tidak lepas dari kepentingan perdagangan dan syiar agama yang dibawa oleh para saudagar dan ulama muslim dari Asia Barat, sejak abad ke 13 Masehi.

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam
Ratusan ribu bahkan jutaan muslim asal Indonesia, hingga hari ini telah berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang ke sana sebagai tamu Allah, untuk melaksanakan ibadah haji.

Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya.

Sejak mereka meninggalkan tanah air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan, dan sebagainya.

Di sana tidak ada lagi diskripsi yang bersifat material, oleh karena itu perbedaan golongan, ras, ekonomi, pangkat, bangsa ataupun status sosial hanya merupakan suatu pertunjukan 'panggung' secara komunal dalam kebersamaan antar umat manusia. Pemegang peran dalam panggung ini adalah masing-masing jamaah pelaksana ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama di mata Allah.

Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual haji ini, adalah pada 9 Dzulhijjah, saat mereka melakukan wuquf di Arafah. Tanpa wuquf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah ibadah hajinya. Sebagaimana Rasulullah menegaskan dalam sabdanya :

"(Ibadah) haji ini adalah wukuf di Arafah"


Sejak ratusan tahun umat muslim dari Indonesia telah banyak yang berangkat ziarah ke tanah suci Mekkah. Di masa, ketika masih menggunakan kapal layar hingga kini dengan pesawat terbang, niat umat muslim tanah air untuk pergi ke tanah suci tak pernah memudar.

Di dalam sebuah ceramahnya, Buya Hamka menyampaikan kisah tentang pelaksanaan haji umat muslim nusantara di masa lalu. Ia katakan bahwa sekitar tahun 1927 itu, sewa kapal layar seharga 165 rupiah pulang pergi. Meskipun di saat itu nilai 165 rupiah sudah mahal, tetapi umat muslim berbondong-bondong berangkat ke tanah suci.

Pada tahun 1950, di bulan Agustus, dikatakan harga sewa kapal laut sudah naik menjadi tujuh ribu rupiah, dan seterusnya naik menjadi sebesar 1,5 juta dan seterusnya.  Dari tahun ke tahun belum pernah harga sewa transportasi hingga hari ini turun, tetapi jumlah jamaah yang pergi ke Tanah Suci, tak pernah surut. Tahun 2015 lalu, tercatat hingga 150 ribu jamaah telah berangkat melaksanakan haji (belum terhitung yang pergi umrah).

Hamka mengatakan, ini adalah sebuah fakta betapa mustajab do'a Ibrahim AS kepada Allah Ta'ala agar Ka'bah (yang dibangunnya) itu menjadi 'magnet' yang menarik hati umat muslim di seluruh bumi untuk datang ke 'tanah yang suci', Mekkah al Mukaromah.

< sebelumnya  | selanjutnya >

* Ditulis oleh Erwin E Ananto

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu (2)

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu (2)
Sepanjang awal abad ke13, umat muslim sama sekali tidak memerlukan tiket pesawat untuk berziarah haji.

Perjalanan haji masa lalu adalah maraton yang sangat panjang di tengah medan yang tak mengenal ampun, dan ziarah itu bisa memakan waktu puluhan tahun bila seseorang harus berhenti dalam perjalanan untuk bekerja dan menyimpan sebelum berangkat melanjutkan perjalanan kembali.

Bahkan perjalanan darat sering 'dikotori' dan 'rusak' oleh para perampok, serangan penyakit, kekurangan air atau tersesat dan hilang. Dan setiap peziarah yang berlayar di lautan pun mengetahui bahwa laut telah menelan banyak kapal layar beserta para penumpangnya. Juga risiko sering dikenakan pungutan pajak kepada peziarah untuk membatasi mereka, tapi ini tidak sedikit pun membuat surut arus kedatangan para peziarah haji di masa itu.

Keteguhan iman para peziarah haji dalam perjalanan itu mengalahkan kemampuan pasukan kerajaan yang bertahan dalam situasi perang, kelaparan dan serangan wabah penyakit. Kisah perjalanan ziarah haji masa lalu itu, selalu menginspirasi umat muslim selama berabad-abad dan memberi gambaran nyata atas pengorbanan dan keikhlasan, juga keimanan, dan pengagungan kepada Allah Ta'ala.

Kisah para peziarah, kafilah dari berbagai rute itu menjadi perekat yang menyatukan seluruh peradaban Islam di semua jaman. Semuanya makin mempertegas bahwa perjalanan ke tanah suci bukan sekadar destinasi wisata.

Tahun-tahun terakhir,
jamaah haji datang dengan cara yang sangat cepat dan dalam jumlah yang sangat masif. Hanya diperlukan selama 75 tahun untuk merealisasi perjalanan dengan kapal uap, kereta api, bus serta pesawat. Setelah semua itu tersedia, maka rute-rute darat yang telah bertahan selama hampir 13 abad itu, menjadi tampak usang.

Pada akhir abad ke-19, terutama setelah dibukanya Terusan Suez, terjadi peningkat-an jumlah peziarah yang menuju Mekkah dengan kapal laut yang berlabuh di dermaga di Jeddah. Tidak hanya orang Mesir yang turun ke laut, tapi dari Suriah dan Anatolia pun berlayar dari Beirut melalui kanal-kanal, dan jumlahnya terus bertambah dari India serta Indonesia yang tiba dari Samudera Hindia.

Tahun 1908 pembukaan Hijaz Railway dari Damaskus ke Jeddah menjadi awal hilang-nya tradisi perjalanan kafilah Damaskus. Setelah Perang Dunia II, rute ke Mekkah itu ditandai semakin banyak melalui udara. Tahun 1990, sebesar 95 persen jamaah haji dari luar Saudi (dan banyak orang-orang Arab) tiba dengan pesawat terbang. Hanya beberapa gelintir peziarah yang lewat jalur darat, sebagian besar dari negara-negara Timur Tengah yang berbatasan Arab Saudi, mereka meluncur di jalan raya dengan bus ber-AC berkecepatan tinggi.

Dan itu menjadi akhir dari abad 'kelompok kafilah' yang penuh pengorbanan, usaha keras, kesabaran dan keimanan, yang menjadi ujian bagi para peziarah haji dalam menjelajah ke negeri-negeri yang tidak dikenalnya. Sarat dengan tantangan dan bahaya di tengah gurun. Namun di atas pelana unta itu, mereka memiliki keyakinan untuk memenuhi 'undangan' Allah Ta'ala.

< sebelumnya  | selanjutnya >

* Ditulis oleh Erwin E Ananto

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu (2)

Peziarah Haji, Kisah Mereka Di Masa Lalu (2)
Sepanjang awal abad ke13, umat muslim sama sekali tidak memerlukan tiket pesawat untuk berziarah haji.

Perjalanan haji masa lalu adalah maraton yang sangat panjang di tengah medan yang tak mengenal ampun, dan ziarah itu bisa memakan waktu puluhan tahun bila seseorang harus berhenti dalam perjalanan untuk bekerja dan menyimpan sebelum berangkat melanjutkan perjalanan kembali.

Bahkan perjalanan darat sering 'dikotori' dan 'rusak' oleh para perampok, serangan penyakit, kekurangan air atau tersesat dan hilang. Dan setiap peziarah yang berlayar di lautan pun mengetahui bahwa laut telah menelan banyak kapal layar beserta para penumpangnya. Juga risiko sering dikenakan pungutan pajak kepada peziarah untuk membatasi mereka, tapi ini tidak sedikit pun membuat surut arus kedatangan para peziarah haji di masa itu.

Keteguhan iman para peziarah haji dalam perjalanan itu mengalahkan kemampuan pasukan kerajaan yang bertahan dalam situasi perang, kelaparan dan serangan wabah penyakit. Kisah perjalanan ziarah haji masa lalu itu, selalu menginspirasi umat muslim selama berabad-abad dan memberi gambaran nyata atas pengorbanan dan keikhlasan, juga keimanan, dan pengagungan kepada Allah Ta'ala.

Kisah para peziarah, kafilah dari berbagai rute itu menjadi perekat yang menyatukan seluruh peradaban Islam di semua jaman. Semuanya makin mempertegas bahwa perjalanan ke tanah suci bukan sekadar destinasi wisata.

Tahun-tahun terakhir,
jamaah haji datang dengan cara yang sangat cepat dan dalam jumlah yang sangat masif. Hanya diperlukan selama 75 tahun untuk merealisasi perjalanan dengan kapal uap, kereta api, bus serta pesawat. Setelah semua itu tersedia, maka rute-rute darat yang telah bertahan selama hampir 13 abad itu, menjadi tampak usang.

Pada akhir abad ke-19, terutama setelah dibukanya Terusan Suez, terjadi peningkat-an jumlah peziarah yang menuju Mekkah dengan kapal laut yang berlabuh di dermaga di Jeddah. Tidak hanya orang Mesir yang turun ke laut, tapi dari Suriah dan Anatolia pun berlayar dari Beirut melalui kanal-kanal, dan jumlahnya terus bertambah dari India serta Indonesia yang tiba dari Samudera Hindia.

Tahun 1908 pembukaan Hijaz Railway dari Damaskus ke Jeddah menjadi awal hilang-nya tradisi perjalanan kafilah Damaskus. Setelah Perang Dunia II, rute ke Mekkah itu ditandai semakin banyak melalui udara. Tahun 1990, sebesar 95 persen jamaah haji dari luar Saudi (dan banyak orang-orang Arab) tiba dengan pesawat terbang. Hanya beberapa gelintir peziarah yang lewat jalur darat, sebagian besar dari negara-negara Timur Tengah yang berbatasan Arab Saudi, mereka meluncur di jalan raya dengan bus ber-AC berkecepatan tinggi.

Dan itu menjadi akhir dari abad 'kelompok kafilah' yang penuh pengorbanan, usaha keras, kesabaran dan keimanan, yang menjadi ujian bagi para peziarah haji dalam menjelajah ke negeri-negeri yang tidak dikenalnya. Sarat dengan tantangan dan bahaya di tengah gurun. Namun di atas pelana unta itu, mereka memiliki keyakinan untuk memenuhi 'undangan' Allah Ta'ala.

< sebelumnya  | selanjutnya >

* Ditulis oleh Erwin E Ananto

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam
Ratusan ribu bahkan jutaan muslim asal Indonesia, hingga hari ini telah berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang ke sana sebagai tamu Allah, untuk melaksanakan ibadah haji.

Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya.

Sejak mereka meninggalkan tanah air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan, dan sebagainya.

Di sana tidak ada lagi diskripsi yang bersifat material, oleh karena itu perbedaan golongan, ras, ekonomi, pangkat, bangsa ataupun status sosial hanya merupakan suatu pertunjukan 'panggung' secara komunal dalam kebersamaan antar umat manusia. Pemegang peran dalam panggung ini adalah masing-masing jamaah pelaksana ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama di mata Allah.

Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual haji ini, adalah pada 9 Dzulhijjah, saat mereka melakukan wuquf di Arafah. Tanpa wuquf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah ibadah hajinya. Sebagaimana Rasulullah menegaskan dalam sabdanya :

"(Ibadah) haji ini adalah wukuf di Arafah"


Sejak ratusan tahun umat muslim dari Indonesia telah banyak yang berangkat ziarah ke tanah suci Mekkah. Di masa, ketika masih menggunakan kapal layar hingga kini dengan pesawat terbang, niat umat muslim tanah air untuk pergi ke tanah suci tak pernah memudar.

Di dalam sebuah ceramahnya, Buya Hamka menyampaikan kisah tentang pelaksanaan haji umat muslim nusantara di masa lalu. Ia katakan bahwa sekitar tahun 1927 itu, sewa kapal layar seharga 165 rupiah pulang pergi. Meskipun di saat itu nilai 165 rupiah sudah mahal, tetapi umat muslim berbondong-bondong berangkat ke tanah suci.

Pada tahun 1950, di bulan Agustus, dikatakan harga sewa kapal laut sudah naik menjadi tujuh ribu rupiah, dan seterusnya naik menjadi sebesar 1,5 juta dan seterusnya.  Dari tahun ke tahun belum pernah harga sewa transportasi hingga hari ini turun, tetapi jumlah jamaah yang pergi ke Tanah Suci, tak pernah surut. Tahun 2015 lalu, tercatat hingga 150 ribu jamaah telah berangkat melaksanakan haji (belum terhitung yang pergi umrah).

Hamka mengatakan, ini adalah sebuah fakta betapa mustajab do'a Ibrahim AS kepada Allah Ta'ala agar Ka'bah (yang dibangunnya) itu menjadi 'magnet' yang menarik hati umat muslim di seluruh bumi untuk datang ke 'tanah yang suci', Mekkah al Mukaromah.

< sebelumnya  | selanjutnya >

* Ditulis oleh Erwin E Ananto

Rasulullah SAW: Rahasia di Balik Sholat Lima Waktu

Rasulullah SAW: Rahasia di Balik Sholat Lima Waktu
Suatu hari Ali bin Abi Thalib berkata, "Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Anshor, tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi dan berkata;

'Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepadamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa a.s. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqorrab.'

Lalu Rasullullah bersabda, 'Silakan bertanya.'

Berkata orang Yahudi, 'terangkanlah kepada kami tentang lima waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu'.

Rasullullah pun menjawab;

Shalat Dzhuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhan-nya.

Shalat 'Ashar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi.

Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang shalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya.

Shalat 'Isya itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku.

Shalat Shubuh adalah sebelum terbit matahari. Ini karena apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah, lalu mereka berkata, 'memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan didapati oleh orang yang shalat.'

Rasullulloh bersabda;

"Jagalah waktu-waktu sholat terutama sholat yang pertengahan. sholat Dzhuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan sholat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka jahanam pada hari Kiamat."

Rasullullah melanjutkan;

Manakala sholat 'Ashar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan sholat 'Ashar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.

Selepas itu Rasullullah membaca ayat yang bermaksud,

'Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali sholat yang pertengahan.'

Sholat Wustho (pertengahan): Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustho. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. (Al-Baqoroh 2:238)

Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.

Sabda Rasullullah Muhammad saw,

Shalat 'Isya, katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan sholat 'Isya berjamaah, Allah SWT haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.

Sabda Rasullullah saw seterusnya,

Shalat Shubuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Shubuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah SWT dua kebebasan, yakni dibebaskan daripada api neraka dan dibebaskan dari nifaq.

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah, maka mereka berkata, "Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua, mengapa Allah SWT mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?"

Sabda Rasullullah,

Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah SWT mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari. Sementara diizinkan makan di waktu malam itu adalah sebagai karunia Allah SWT kepada makhluk-Nya.

Kata orang Yahudi lagi, 'Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.'

Sabda Rasullullah,

'Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah SWT, dia akan diberikan oleh Allah SWT 7 perkara:

Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).

- Rahmat Alloh senantiasa dekat dengannya
- Diberi oleh Alloh sebaik-baik amal
- Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga
- Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan)
- Diberikan cahaya oleh Alloh SWT pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath
- Allah SWT akan memberinya kemudian di syurga.'

Kata orang Yahudi, 'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.'

Sabda Rasullullah,

Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).

Kata orang Yahudi, 'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan "Asyhadu Allaa ilaha illallah, wa annaka Rasulullah (kami percaya bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan engkau utusan Allah).'

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Surah Al-Baqarah: ayat 155)

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Wallahu a'lam bishawab

Rasulullah SAW: Rahasia di Balik Sholat Lima Waktu

Rasulullah SAW: Rahasia di Balik Sholat Lima Waktu
Suatu hari Ali bin Abi Thalib berkata, "Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Anshor, tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi dan berkata;
 
'Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepadamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa a.s. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqorrab.'

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam (2)

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam (2)
Bekal utama, Keikhlasan Hati

Ziarah ke tanah suci Mekkah dan Madinah, sama sekali berbeda dengan berwisata seperti ke Roma, London, Paris, Spanyol, San Fransisco dan kota-kota bersejarah lainnya. Tujuan pergi ke Mekkah adalah untuk memenuhi panggilan Allah Ta'ala, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup, "manis tatho'a ilaihi sabila" (orang-orang yang sanggup berjalan ke sana), berjalan di tempat yang panas di padang tandus.

Sebagaimaan madzhab lama, ada yang menyatakan "hendaklah kita semua sanggup berjalan kesana." Buya Hamka mengkisahkan, suatu hari dalam sebuah perjalanan haji, Ia berkendara dari kota Madinah menuju Mekkah. Ia melihat seorang pria yang sedang berjalan kaki di tengah gurun. Ia berhenti dan turun dari kendaraannya untuk menemui pria itu, dan bertanya dari mana dan mau kemana ia (pria itu) akan pergi. Pria itu mengatakan, dia dari negeri Afganistan hendak pergi ke Madinah.

Lalu ia kembali ke mobil dan mengambil sebuah bingkisan, untuk diberikan kepada pria itu sebagai oleh-oleh (hadiah) untuk perjalanannya. Menerima bingkisan itu, seketika pria itu mengucap "Alhamdulillah" dan meneteskan air mata.

Kejadian ini, menurutnya dapat menjadi pengingat bahwa tidak sedikit umat muslim yang mau berjuang dalam perjalanan (jalan kaki) menuju ke Mekkah dengan dipenuhi keikhlasan dalam hatinya.

Di lain kisah, pengalaman haji Presiden Soekarno selama menunaikan ibadahnya di Mekkah. Suatu ketika, ia pun sampai di hadapan Rhaudah, ia berlutut di depan makam Rasulullah dan memanjatkan do'a-do'a tanpa sanggup menahan isakan tangis. Itu pun terjadi dalam pengalaman Bung Hatta ketika ia berhaji ke tanah suci.

Begitulah kiranya isi hati umat muslim, yang penuh cinta dan keikhlasan dalam berangkat memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci. Sebuah tempat yang sangat berbeda dari tempat-tempat ziarah lain seperti masjid Sevila, Kordova, Alhambra, dan tempat-tempat indah dan 'keramat' lain di berbagai belahan bumi.

Kerinduan hati umat muslim hanya tertaut ke tanah suci Mekkah dan Madinah, yang setiap sudut kota dipenuh dengan hidayah.

Bagaimana pun juga setelah mereka sampai ke tanah air. Dalam ingatan umat muslim masih lengkap terbayang thawaf mengitari Ka'bah, mengambil air di sumur zam-zam, shalat di makam Ibrahim AS, mencium hajar aswad, wuquf di Arafah di dalam ribuan tenda dan melantunkan dzikir dan doa, bersama berjuta umat muslim sedunia, di satu tempat yang sama.

Dimensi Keikhlasan beribadah


Islam mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah akan terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa manusia dekat kepada Allah. Tanpa adanya keikhlasan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah.

Ibadah Haji dan Umrah memiliki hikmah dalam memperteguh hati agar menjadi ranah subur bagi tumbuhnya keimanan kepada Allah Ta'ala.

Dengan demikian, haji atau pun umrah sudah seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan kita, agar kita mengorientasikan tujuan kehidupan ini semata-mata hanya untuk mencapai ridha Allah.

< sebelumnya  |

*Ditulis oleh Erwin E Ananto - Jumrah.com

Buka Puasa dengan Kurma, Ini manfaatnya...

Buka Puasa dengan Kurma, Ini manfaatnya...
Ramadhan seringkali diidentikkan dengan kurma. Hal ini bukan tanpa alasan, karena selain dianjurkan oleh Rasullallah SAW, studi juga membuktikan bahwa berbuka puasa dengan buah kurma memberikan manfaat besar bagi kesehatan tubuh.

Tak heran, jika di beberapa toko bahkan di beberapa titik di Kota Malang, kamu akan menemukan banyak sekali orang yang menjajakan buah kurma dengan berbagai jenisnya.

Nah, agar kamu lebih memahami akan manfaat buah kurma, berikut enam manfaat berbuka puasa dengan buah kurma seperti yang dilansir melalui orbitislam.com.

1. Kurma mudah dicerna sehingga tidak menyakiti perut orang yang sedang berpuasa.

2. Kurma dapat mengurangi rasa lapar sehingga membuat kamu tak terburu-buru menyantap makanan berat secara berlebihan. Pasalnya, mengonsumsi makanan secara berlebihan terutama setelah berpuasa dapat menyebabkan gangguan pencernaan.

3. Kurma mempersiapkan perut untuk menerima makanan setelah tidak beraktivitas seharian karena berpuasa. Mengonsumsi kurma akan membantu mengaktifkan pelepasan sekresi pencernaan.

4. Kurma diperkaya dengan energi karena mengandung gula. Dengan begitu tubuh akan mendapat pasokan nutrisi dari gula yang dibutuhkan oleh sel otak dan saraf.

5. Kurma mencegah sembelit akibat adanya perubahan pola makan. Sembelit juga bisa disebabkan oleh kurangnya asupan serat dalam makanan yang dikonsumsi.

6. Kandungan garam alkali dalam kurma bermanfat untuk menyesuaikan keasaman darah karena konsumsi daging dan karbohidrat. Keasaman darah inilah yang menyebabkan beberapa penyakit seperti diabetes, asam urat, batu ginjal, radang kandung empedu, tekanan darah tinggi dan wasir.

Nah, bagi kamu yang tak begitu menyukai buah kurma secara utuh, kamu bisa mengolahnya menjadi berbagai jenis makanan takjil, seperti es campur, es buah atau salad buah. Meskipun begitu, mengonsumsi buah kurma secara utuh adalah cara terbaik untuk mendapatkan manfaatnya. (*)

Buka Puasa dengan Kurma, Ini manfaatnya...

Buka Puasa dengan Kurma, Ini manfaatnya...
Ramadhan seringkali diidentikkan dengan kurma. Hal ini bukan tanpa alasan, karena selain dianjurkan oleh Rasullallah SAW, studi juga membuktikan bahwa berbuka puasa dengan buah kurma memberikan manfaat besar bagi kesehatan tubuh.