Jumrah Edisi 01 - Tahun 2016

Jumrah Edisi 01 2016
Bergantinya tahun maka bertambah pula usia kita, akan tetapi umur kita semakin berkurang. Dengan demikian kita menyadari bahwa kita seharusnya lebih giat untuk beramal baik sebagai bekal hidup diakhirat nanti. Karena semua kebahagiaan dan kesengsaraan yang akan menimpa seseorang tergantung amalan yang dilakukan ketika
mereka hidup di dunia.

(Klik disini untuk preview Jumrah Edisi 01 - Tahun 2016)

(Klik disini untuk download Jumrah Edisi 01 - Tahun 2016)


Dengan kehidupan yang serba singkat ini kita berupaya untuk berlomba untuk meraih amal yang shaleh, agar kelak kita tidak mengalami penyesalan yang tidak guna. Waktu adalah sangat berharga sekali dalam kehidupan ini. Sebagai pedagang waktu bisa diumpamakan sebagai uang, bagi pelajar waktu adalah ilmu. Dan juga dikatakan bahwa waktu bagaikan pedang, bila tidak bisa menggunakan pedang tersebut, maka kita akan kena 'pedang' itu.

Semoga di awal tahun baru Hijriyah ini, ketaqwaan kita terhadap Allah SWT semakin meningkat, salah satunya dengan beribadah umrah dan haji sesuai yang diajarkan oleh Rasullullah SAW yang harus lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, baik pelaksanaan maupun penyelenggaraannya.

(erw)

Umar pun 'Terpaku' Mendengar Nasehatnya

Umar pun 'Terpaku' Mendengar Nasehatnya
Imam Al Qurthubi menceritakan bahwa suatu hari kala Umar bin Khattab Radhiyallahu'anhu masih menjabat sebagai Khalifah, tanpa sengaja ia berjumpa dengan seorang wanita tua di jalan. Saat itu, sang Khalifah sedang menunggang kuda diiringi banyak orang yang juga menunggang kuda.

Dalam pertemuan saat itu, nenek itu memanggilnya dan memintanya berhenti, dan Umar pun berhenti. Lalu ia bercakap dan menasihati Umar lama sekali.

Kepada Umar ia mengatakan, "Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), lalu engkau dipanggil Umar, dan kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertaqwalah engkau, wahai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan (amal), maka ia pasti takut kepada siksa."

Umar bin Khattab berdiri terpaku cukup lama menyimak nasihatnya itu. Hingga setelah beberapa waktu, ada seorang yang bertanya kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau mau berdiri seperti itu untuk mendengarkan wanita tua renta ini?"

Umar pun menjawab, "Demi Allah, kalau sekiranya beliau menahanku dari permulaan siang hingga siang ini berakhir, aku tidak akan bergeser kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan renta ini?"

"Dia adalah Khawlah binti Tsalabah. Allah Ta'ala mendengar perkataannya dari atas tujuh lapis langit. Apakah Tuhan semesta alam mendengarkan ucapannya, tetapi lantas Umar tidak mendengarkannya?"

Khawlah binti Tsa’labah bin Ashram, demikian nama wanita itu. Ia berasal dari kaum Anshar. Do'a dan gugatannya itu didengar oleh Allah Ta'ala hingga menjadi sebab turunnya Surat Mujadalah ayat 1-4.

Kisah ini tidak hanya menunjukkan kemuliaan Khaulah, perempuan tua itu, melainkan juga keindahan adab Umar, sang Khalifah yang sangat santun.
jumrahonline | jumrah.com

Ikut Imam Syafi'i atau Ikut Rasulullah SAW? Ini Jawabannya

Mengikuti Imam Syafi'i atau Rasulullah? Ini Jawabannya
Diantara ciri khas Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah mengikuti pola bermadzhab dalam amaliah sehari-hari terhadap salah satu madzhab fiqih yang empat, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Bahkan menurut al-Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi (1110-1176 H/1699-1762 M), pola bermadzhab terhadap suatu madzhab tertentu secara penuh telah dilakukan oleh mayoritas kaum Muslimin sejak generasi salaf yang saleh, yaitu sejak abad ketiga Hijriah. (Simak juga: Mengapa Slogan "Kembalikan Semuanya ke Alqur'an dan As Sunnah" Dinilai Berbahaya?)

Karenanya, sulit kita temukan nama seorang ulama besar yang hidup sejak abad ketiga hingga saat ini yang tidak mengikuti salah satu madzhab fiqih yang ada.

Belakangan setelah lahirnya gerakan Wahhabi di Najd Saudi Arabia, lahir pula gerakan anti madzhab yang mengajak kaum Muslimin agar menanggalkan baju bermadzhab dan kembali kepada "ajaran al-Qur’an dan Sunnah". Karena menurut mereka, para imam madzhab sendiri seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, lebih mendahulukan hadits shahih daripada hasil ijtihad.

Bukankah semua Imam madzhab pernah menyatakan, "idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku)".

Sudah barang tentu ajakan menanggalkan pola bermadzhab dan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits adalah tidak tepat, karena secara tidak langsung ajakan tersebut beranggapan bahwa para imam madzhab dan para ulama yang bermadzhab telah keluar dari al-Qur’an dan hadits. Anggapan semacam ini jelas tidak benar, karena semua madzhab fiqih yang ada berangkatnya dari ijtihad para imam mujtahid, sang pendiri madzhab.

Sedangkan ijtihad mereka jelas dibangun di atas pondasi al-Qur’an dan Sunnah. Seorang ulama baru dibolehkan berijtihad, apabila telah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, yang antara lain menguasai kandungan al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijtihadnya.

Kita juga sering mendengar pernyataan kalangan anti madzhab yang mengatakan, "mengapa Anda mengikuti Imam al-Syafi’i, kenapa tidak mengikuti Rasulullah saja...", atau "siapa yang lebih alim, Rasulullah atau Imam al-Syafi'i?" Tentu saja pertanyaan tersebut sungguh tidak ilmiah, dan menjadi bukti bahwa kalangan anti madzhab memang tidak memahami al-Qur’an dan ilmu ushul fiqih.

Ketika seseorang itu mengikuti Imam al-Syafi'i, hal itu bukan berarti dia meninggalkan Rasulullah. Karena bagaimana pun Imam al-Syafi'i itu tidak sebanding dengan kedudukan Rasulullah. 


Para ulama yang mengikuti madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Bukhari, al-Hakim, al-Daraquthni, al-Baihaqi, al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain, berkeyakinan bahwa Imam al-Syafi’i lebih mengerti dari pada mereka terhadap makna-makna al-Qur’an dan hadits Rasulullah secara menyeluruh.

Ketika mereka mengikuti al-Syafi'i, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi mengikuti al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman orang yang lebih memahami, yaitu Imam al-Syafi'i.

Hal ini dapat dianalogikan dengan ketika para ulama mengikuti perintah al-Qur’an tentang hukum potong tangan bagi para pencuri. Dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, sampai di mana batasan tangan pencuri yang harus dipotong? Apakah sampai lengan, sikut atau bahu? Ternyata Rasulullah menjelaskan sampai pergelangan tangan.

Ketika kita menerapkan hukum potong tangan dari bagian pergelangan tangan, bukan berarti kita mengikuti Rasulullah dan meninggalkan al-Qur’an. Akan tetapi kita mengikuti al-Qur’an sesuai dengan penjelasan Rasulullah yang memang diberi tugas oleh Allah SWT sebagai mubayyin, penjelas isi-isi al-Qur’an. (QS. al-Nahl : 44 dan 64).

Al-Qur'an al-Karim sendiri mengajarkan kita untuk taqlid dan bermadzhab kepada ulama. "Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."

Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan orang yang tidak tahu agar bertanya kepada para ulama. Allah SWT tidak memerintahnya agar membolak-balik terjemahan al-Qur’an atau kitab-kitab hadits sebagaimana yang dilakukan golongan anti madzhab.


jumrahonline | jumrah.com
sumber : santri.net

Merindu Keluarga di Syurga

Merindu Keluarga di Syurga
Tiada kebahagiaan yang paling berbunga, kecuali sebuah pertemuan dengan mereka yang kita kasihi. Setelah jarak waktu penantian dan pengembaraan di rimba dunia fana ini; akhirnya mereka berjumpa dalam pertemuan akbar di surga Adnin. Para malaikat mengembangkan sayapnya mengiringi pertemuan mereka, seraya berdendang melagukan sonata doa dan mengucapkan salam sejahtera kepada para penghuninya.

Surga Adnin tempat di mana mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari setiap pintu, seraya mengucapkan salamun ealaikum, kedamai an bagi kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan. (QS ar-Ra'du [13]: 23-24).

Dan, salah satu kunci untuk memasuki surga itu, dijelaskan pada ayat sebelumnya yaitu mereka yang memenuhi janji, yang menyambung tali silaturahim, takut dengan seburuk- buruk perhitungan, dan sabar.


Sedangkan kunci lain yang akan membuka pintu-pintu surga terletak dalam keluhuran akhlak serta rasa hormatnya yang penuh dengan ihsan (excellent) kepada kedua orang tua, utamanya ibu.


Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW, Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak diragukan lagi, yakni doa orang yang teraniaya, doa orang bepergian, dan doa orang tua bagi anaknya. (HR Al-Bukhari ). Tidak ada kebahagiaan yang paling berbinar, kecuali kita memiliki anak yang saleh, santun kepada orang tua, dan gemar mendoakan. Karena doa anak yang saleh, tidak ada penghalangnya kecuali dikabulkan Allah.

Rasulullah bersabda, Diangkat derajat seseorang setelah matinya. Dia pun bertanya, Wahai Tuhanku, mengapa engkau angkat derajatku? Allah berfirman; Anakmu memohon ampunan untukmu. (HR al-Bukhari).

Begitu dahsyatnya kekuatan doa anak yang saleh sehingga dapat mengubah kedudukan orang tuanya yang telah meninggal. Bahkan, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Ketika seseorang masuk surga ia menanyakan orang tua, istri, dan anak-anaknya. Lalu Allah berkata kepadanya, Mereka tidak mencapai derajat amalmu. Kemudian, orang itu berkata, Ya Rabbi, aku beramal bagiku dan keluargaku. Kemudian, Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke surga. (HR Thabrani).

Para orang tua beserta seluruh penghuni yang berada di bawah atap rumahnya, merasakan bahwa mereka adalah satu jamaah yang kelak akan melakukan pertemuan akbar di surga. Seluruh keluarga merindukan pertemuan ulang di alam baka dan menjadi penghuni surga Adnin.

Sehingga, seseorang yang sudah berumur 40 tahun sangat dianjurkan agar senantiasa berdoa, sebagaimana doa yang difirmankan Allah: Ya Tuhanku, jadikan hamba mampu bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan serta bersyukur kepada kedua orang tuaku, dan untuk menunaikan amal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kebaikan padaku dan keturunanku. (QS al-Ahqaf [46]: 15). 


Semoga kita dapat berkumpul untuk reuni di surga Adnin.


Ditulis oleh Ustadz Toto Tasmara, republika.co.id

Merindu Keluarga di Syurga

Merindu Keluarga di Syurga
Tiada kebahagiaan yang paling berbunga, kecuali sebuah pertemuan dengan mereka yang kita kasihi. Setelah jarak waktu penantian dan pengembaraan di rimba dunia fana ini; akhirnya mereka berjumpa dalam pertemuan akbar di surga Adnin. Para malaikat mengembangkan sayapnya mengiringi pertemuan mereka, seraya berdendang melagukan sonata doa dan mengucapkan salam sejahtera kepada para penghuninya.

Inilah Nur dalam Konteks Spiritual

Inilah Nur (Cahaya) dalam Konteks Spiritual
Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita melihat dengan jelas pada sesuatu, baik menggunakan mata kepala atau mata hati. Dalam logika kita, ini hampir serupa dengan signal (jaringan) dalam konteks spiritual yang diberikan kepada manusia sehingga ia bisa melihat (merasakan dengan hati) menerima suatu petunjuk atau hidayah dari pada Allah Ta'ala

Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...

Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
Adalah Azazil, yang beribadah kepada Allah Ta'ala selama ribuan tahun. Dari Hasan Al-Bashri, "Azazil beribadah di tujuh lapisan langit hingga lebih dari 70.000 tahun, sampai ia diangkat ke Maqam Ridwan (Malaikat Ridwan AS), ialah maqam yang sangat tinggi, dimana Ridwan menjadi penjaga Surga. Azazil sebelumnya telah menjadi penjaga surga selama ribuan tahun. (Baca sebelumnya: Sosok Azazil di Masa Pra Penciptaan Adam AS)

Antara Iblis, Malaikat dan Manusia

Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
Bangsa Jin diciptakan oleh Allah dari nyala api (min marij min nar), sedangkan malaikat dari cahaya (nur). Api (nar) dan cahaya (nur) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang sama, yaitu terdiri dari huruf nun-waw-ra’. (Baca Sebelumnya: Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam AS)

Iblis adalah bapak dari kaum Jin, sebagaimana Adam adalah bapak dari manusia. Iblis yang sebelumnya termasuk malaikat yang tercipta dari cahaya (nur), karena ia berputus asa dari rahmat Allah (dengan tidak mau bersujud kepada Adam) maka diturunkanlah derajat kecahayaannya dari nur menjadi nar. Turun tingkat energi (frekuensi) nya namun meningkat pada panjang gelombangnya.

Nur (cahaya) dan nar (api), keduanya sama-sama cahaya, hanya berbeda spektrum. Sebagaimana dalam spektrum cahaya yang biasa kita sebut untuk warna pelangi: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Semua warna cahaya yang bisa kita sebut hanya berasal dari tiga cahaya: merah-hijau-biru, yang biasa disebut dalam istilah teknologi warna sebagai RGB (red-green-blue). Warna-warna lain adalah campuran dari dua atau tiga cahaya tersebut dengan proporsi tertentu.

Manusia mempunyai potensi setan dan malaikat. Jika baik, ia bisa melebihi malaikat. Jika buruk, ia bahkan bisa lebih rendah dari setan, serendah-rendahnya (asfala safilin). Kita hampir sering lupa bahwa kita adalah manusia yang bisa salah dan juga bisa benar. Betapa sibuknya kita menuntut orang lain agar selalu sempurna, selalu baik seperti malaikat. Di saat lain, kita hampir-hampir merasakan nikmat mengutuk sesama saudara yang berbeda aliran, seolah-olah mereka adalah setan.

FASTA’IDZ BILLAH (maka berlindunglah kepada Allah)

Kalimat ta’âwudz (kalimat meminta perlindungan yang biasa kita kenal adalah:


A'udzubillahi Minasy Syaithanir Rajim 

"Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk."

Dalam surah Al-A'raf (7):200, "Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syetan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (as-samî’ al-‘alîm)."

Maka redaksi lain dari kalimat ta'awudz adalah:

A'udzu billahis Sami'il 'Alim, Minasy Syaythanir Rajim"

"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari (godaan) setan yang terkutuk."

Dari struktur kalimat ta’awudz, kita diperintahkan agar berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Muncullah pertanyaan, “Mengapa dari setan, bukan dari iblis? Bukankah makhluk pertama yang disebut setan adalah Iblis yang asalnya bernama Azazil?”

Dalam beberapa ayat disebutkan persamaan figur antara iblis dan setan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Iblis adalah namanya, sedangkan setan adalah sifat dan perbuatannya. Iblis dari golongan jin, dan setan bisa berasal dari golongan jin dan manusia.

Dalam perintah agar minta perlindungan kepada Allah ini tersirat makna bahwa Iblis jelas lebih banyak dalam hal ilmu, iman, amal sampai ibadah. Bahkan Iblis semasa masih bernama Azazil telah menghuni surga dan seluruh lapisan langit telah ia ketahui dan jelajahi. Maka, hanya Allah yang akan dapat melindungi kita dari tipu daya Iblis.

Namun, dalam struktur kalimat ta’awudz kita tidak diperintahkan untuk berlindung dari Iblis, tetapi dari setan. Siapa setan dan siapa Iblis?

Iblis disebutkan dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 50, “kâna minal jinn” (adalah dia (iblis, dulunya) dari golongan jin), termasuk golongan jin, bukan manusia. Iblis adalah nama salah satu makhluk dari bangsa jin. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Iblis adalah bapak moyangnya jinn sebagaimana Adam adalah bapak moyangnya manusia.

Dalam surah Al-Jinn (72) ayat 1 sampai 15 banyak kita ketahui informasi kehidupan bangsa jin. Bahwa sebelum Muhammad diutus sebagai Rasul, bangsa jin masih dapat menempati beberapa tempat di langit untuk mendengarkan berita-berita dari para malaikat. Bahwa diantara bangsa jin juga ada yang mengikuti ajaran para nabi dari bangsa manusia sejak Adam hingga Isa, ada yang saleh dan ada yang tidak. Dengan demikian ada sebutan jin muslim dan jin kafir.

Sedangkan setan adalah sifat buruk yang bisa mungkin dimiliki oleh bangsa jin maupun manusia. Kata “setan” (syaythân) berasal dari akar kata yang terdiri dari huruf Syin-Thâ’-Nûn, yang bermakna “ba’uda” (jauh) dan “khâlafa” (menyalahi, mengingkari). Jadi, siapapun, baik jin atau manusia, jika menjauhkan diri, menyalahi atau mengingkari tujuan penciptaan (yaitu untuk beribadah kepada Allah), maka ia bisa disebut “setan”.

Dalam firman Allah surah Al-An’âm [6] ayat 112 disebut-kan frase “syayâthîn al-ins wa al-jinn” (setan-setan dari golongan manusia dan jin), dan merekalah yang menjadi musuh setiap para nabi. Sehingga pula dalam surah An-Nâs kita disuruh berlindung kepada Allah dari bisikan jahat setan-setan yang tersembunyi (khannâs) yang berasal dari golongan jin dan manusia (minal jinnati wan nâs).

Telah ditegaskan dalam firman Allah QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56, bahwa jin dan manusia diciptakan untuk ya’budûn (menyembah, mengabdi, beribadah dan menghamba). Jadi, hanya dua jenis makhluk yang diberi kewajiban menyembah atau beribadah, yaitu bangsa jin dan bangsa manusia. Artinya, yang memiliki pilihan baik-buruk, sehingga akan mendapat surga atau neraka, adalah jin dan manusia. Sedangkan makhluk lain, malaikat, tumbuhan, hewan dan benda-benda tidak termasuk yang diberi kewajiban, tidak memiliki pilihan selain hanya beribadah, bertasbih dan bersujud kepada Allah dengan caranya masing-masing.

Untuk itulah jika siapa saja dari bangsa jin dan manusia tidak berada pada jalanNya, maka mereka akan menjadi supporter neraka, seperti firman: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahanam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. As-Sajdah (32): 13)

Setan disebut "musuh yang nyata" bukan nyata dalam hal pandangan mata, bukan maksudnya bahwa setan itu bisa dilihat mata kepala. Karena kata "nyata" yang menyifati setan tersebut dengan kata "mubin", yang berarti nyata dan jelas duduk perkara dan masalahnya. Ketidakrelaan iblis untuk mengakui keunggulan Adam sudah menjadi penjelasan (bayân) dan bukti nyata (bayyinah) bahwa ia akan terus memusuhi Adam dan keturunannya. Disebut jelas karena setan bisa berada diantara (bayna) diri kita sendiri, bahkan bisa berada di dalam diri kita sendiri.

Jadi, dalam struktur kalimat ta’awudz tersirat makna bahwa ada yang lebih berbahaya dan lebih mungkin menyesatkan daripada Iblis, yaitu sifat-sifat syaithaniyyah (satanic) yang ada dalam diri manusia sendiri, kesombongan, merasa paling baik ibadahnya, merasa paling benar, merasa paling tahu segala hal, dan sebagainya yang ujungnya adalah penuhanan diri sendiri. Dan inilah yang disebut jauh dan menyalahi/mengingkari kadar kemakhlukannya, karena yang berhak sombong, yang paling sempurna, yang paling tahu, yang paling benar, tentu adalah Sang Pencipta sendiri.

Pada puncaknya, yang paling kita takuti adalah jika tipudaya itu berasal dari Allah sendiri. Karena Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki, Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, atau memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki (lihat QS. 13:27, 14:4, 16:93, 35:8, 74:31).

Azazil, yang saat itu menjadi makhluk nomor satu di langit dan di bumi, karena Allah telah menghendaki, ia pun tersesat oleh dirinya sendiri, oleh sifat setan yang ada dalam dirinya tanpa ia sadari.

Karena melihat Azazil dikutuk oleh Allah pertama kalinya, maka Jibril, Mikail, Izra'il dan Israfil menangis memohon perlindungan kepada Allah.

Salah satu redaksi doa yang diajarkan Rasulullah SAW:
.
"Aku berlindung dengan ridhaMu dari amarahMu, dan aku berlindung dengan ampunanMu dari murkaMu, dan aku berlindung kepadaMu dariMu."

 

Demikianlah. Setelah manusia dapat mengendalikan syetan dalam dirinya, maka ia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Karena terhadap dirinya sendiri, manusia pun bisa sangat mudah menipu. Menipu diri sendiri. Mencurangi diri sendiri. Menghibur diri sendiri. Menganggap indah dan baik semua perbuatannya sendiri.

Bahkan setelah manusia mampu mengendalikan dirinya, yang terakhir harus dihadapi adalah Allah. Kalau Allah sudah menghendaki, apapun terjadi. 70 tahun kafir, tetapi 5 menit sebelum ajal ternyata bertobat, Allah yang berkuasa melakukan itu. 70 tahun selalu beribadah, tetapi 5 menit sebelum ajal ternyata murtad, Allah yang berhak berbuat itu. Maka, benarlah firmanNya yang sering diulang-ulang:

"Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya." (QS. An-Nisâ’ [4]: 88; lihat juga: QS. An-Nisâ’ [4]: 143; Al-A’râf [7]: 178, 186; Ar-Ra’d [13]: 33; Al-Isrâ’ [17]: 97; Al-Kahf [18]: 17; Az-Zumar [39]: 23, 36; Al-Mu’min [40]: 33; Asy-Syûrâ [42]: 44, 46)

Salah satu kesombongan terbesar adalah kita diam-diam bangga dengan jumlah ibadah yang telah kita lakukan kemudian diam-diam merasa tidak mungkin tersesat. Sedangkan Allah adalah Sebaik-baik pembuat tipudaya (Khayrul Mâkirîn, QS. Ali Imrân [3]: 54 & Al-Anfâl [8]: 30). Siapakah yang bisa lepas dari tipudaya Allah?

Oleh karena itu, dalam doa dari Nabi SAW diatas diakhiri dengan kalimat: "Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu."

Bersujudlah Kepada Ruh-Ku

Ketika Iblis ditanya oleh Allah Ta'ala, mengapa ia tidak bersedia bersujud kepada Adam, ia menjawab, "Aku lebih baik daripada dia, Kau ciptakan aku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah. Apakah aku akan bersujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah? Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang telah Kau muliakan atas diriku?”
(Tersurat dalam QS. Al-A'raf (7):12; Al-Isra' (17):61; Al-Isra' (17):62).

Dari jawaban Iblis tersebut dapat dipahami bahwa ia sekedar melihat sisi lahiriah Adam yang diciptakan dari tanah bumi, yang mana saat itu masih menjadi wilayah kekuasaannya. Ia tidak (atau tidak mau) melihat sisi baathiniyah Adam, bahwa Ruh Allah ada di dalam diri Adam. Kepada Ruh-Nya inilah perintah sujud tertuju, bukan kepada daging Adam atau Adam sebagai makhluk.

Iblis Harus Sujud Kepadamu (?)


Dengan mengenal kisah-kisah tersebut, maka sudah menjadi ketentuan Allah bahwa Iblis memang HARUS sujud kepada anak cucu Adam, karena Ruh Allah yang menggerakkan kehidupannya. Namun mengapa kita mengutuki iblis secara terang-terangan tetapi kita jadikan sahabat secara diam-diam?

Seorang pelacur yang memberi minum anjing dapat terampuni dosa-dosanya. Hanya sekali, dan kepada anjing pula. apalagi jika perbuatan baik itu kita berikan kepada sesama manusia, sesama saudara seagama pula?

Namun mengapa sepertinya sulit memberikan ruang dan kesempatan bagi sesama saudara seagama untuk beribadah sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sekali lagi, hanya berbuat baik kepada anjing dapat terampuni dosa-dosa kita.

Betapa terlenanya, kita mengutuki sesama saudara seolah-olah esok pagi kita masih bisa menjamin bahwa iman kita selalu berada dalam kebenaran. (*)



Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam

Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam AS
Di suatu masa, tibalah saatnya ketika para malaikat melakukan musyawarah besar atas undangan Allah Ta'ala. (Baca Sebelumnya: Azazil Kekasih Allah Di Masa Itu...)

"Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah di bumi". Para malaikat berkata: "Mengapa hendak Kau jadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan menyucikanMu?" Tuhan menjawab: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (QS. Al-Baqarah (2):30)

Kekhawatiran malaikat ini karena memang sebelumnya telah terjadi pertumpahan darah di bumi oleh bangsa jinn.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah." (QS. Shad (38): 71)


Dalam Bahrul 'Ulum li As-Samarqandiy 1:35, disebutkan: Kemudian Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil tanah di bumi sebagai bahan penciptaan Adam. Namun bumi berkata kepada Jibril; "Atas nama Allah yang telah mengutusmu, jangan kau lakukan! karena aku takut dari tanah ini akan diciptakan makhluk yang banyak durhaka kepada Allah, sehingga aku akan malu kepadaNya."


Demikianlah argumentasi bumi yang telah lama bersahabat dengan Azazil, sehingga sangat pandai mengucap kata. Bumi menolak perintah Allah dengan bersumpah atas nama Allah, sebuah kalimat kontradiktif yang secara sepintas nampak tawadhu' namun terjadi pengingkaran perintah.

Namun karena Jibril di kala itu tidak terlatih untuk berargumentasi, maka kembalilah Jibril ke hadapan Allah. Dengan rasa sungkan, Jibril menghadap Allah sambil berkata, "Demikianlah yang terjadi, ya Tuhan! Namun jika diperintahkan turun lagi ke bumi, hamba pun akan turun."

Lalu diutuslah malaikat Mika'il, namun kejadiannya sama dengan Jibril. Begitu pula malaikat Israfil juga tak bisa berkelit dengan argumentasi bumi, hingga Israfil pun juga kembali menghadap Allah. Ini mengisyaratkan bahwa dari bumi akan tercipta dan lahir makhluk yang kedudukannya di sisi Allah bisa melebihi para malaikat.

Lalu diutuslah malaikat Izra’il, dan sebagai kalimat ketundukan sebelum melaksanakan perintah, Izrail memuji Allah dengan kalimat Baqiyatush Shalihah sampai lima kali:

"Subhanallah Wal Hamdulillah, Wala Ilaha Illallah Wallahu Akbar"
"Maha Suci Allah, segala puji untuk Allah, tidak ada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan (izin) Allah."

 
Maka turunlah Izrail ke bumi, dan seperti halnya Jibril, Mikail dan Israfil, bumi pun menggertak dengan argumentasi yang hebat. Namun Izrail membalas gertakan bumi dengan berkata, "Ma amarallah awla min qawlik" (Apa yang diperintahkan Allah lebih utama dari ucapanmu). Lalu Izrail mengumpulkan tanah berwarna merah, kuning, hitam dan putih, lalu dibawa kembali menghadap Allah.

Menurut versi lain, Izrail yang kemudian ditugasi Allah untuk membentuk rupa Adam. Dan karena Izrail yang berhasil membawa tanah sebagai bakal tubuh Adam, maka Izrail yang kemudian akan ditugasi untuk mencabut nyawa Adam dan anak keturunannya, hingga nyawa Izrail sendiri.

Sesungguhnya Kami telah menciptakanmu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, … (QS. Al-A’râf (7): 11)
"Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya (Adam) dengan bersujud."

Lalu bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Azazil, dia tidak termasuk yang ikut ber-sujud, dia membangkang dan menyombongkan diri. (Selengkapnya tersurat dalam QS. Al-Baqarah (2): 30-39; Al-A'raf (7): 11-25; Al-Hijr (15): 26-31; Al-Isra’ (17): 61-65; Al-Kahfi (18): 50-51, Thaha (20): 115-124; dan Shad (38): 71-74)

Karena Azazil tidak mematuhi perintah Allah Ta'ala, maka serta merta Allah tidak memanggil dengan nama Azazil lagi, tapi dengan nama barunya, Iblis, karena ia telah berputus asa dari rahmat Allah. Ia menjadi sosok yang diramalkan dan bahkan ia kutuk selama seribu tahun.

"Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk yang (lebih) tinggi?” (QS. Shâd [38]: 75)

Bagaimana argumentasi Iblis atas ketidakpatuhannya untuk bersujud kepada Adam. Baca Selanjutnya : Antara Iblis, Malaikat dan Manusia

.
Topik Terkait
1) Sosok Azazil Di Masa Pra Penciptaan Adam AS
2) Azazil, Kekasih Allah Di Masa Itu...
3) Kekhawatiran Malaikat dan Bumi Atas Penciptaan Adam
4) Antara Iblis, Malaikat dan Manusia
5) Rayuan Iblis Kala Bulan Madu Adam dan Hawa

6) Siapa Penghuni Bumi Sebelum Adam
7) Awal Kehidupan Adam Sebagai Penghuni Bumi
8) Kehidupan Adam Dan Hawa di Bumi


jumrahonline | jumrah.com

Sejarah Perjalanan Haji di Masa Silam

Sejarah Perjalanan Haji di Masa Silam
Sebagai umat Muslim yang mampu, menunaikan ibadah haji hukumnya wajib. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.

Tantangan yang dialami oleh para jamaah haji menuju ke tanah suci tidak kecil, mulai dari mengalami gangguan kesehatan, hingga musibah yang berisiko kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji, seperti pernah dialami pada 2015  dan beberapa tahun sebelumnya akibatnya belum optimalnya pelayanan haji yang diselenggaraan sang "Khadimul Haramain".

Itu terjadi di belakangan ini, ketika semua sarana dan prasarana penyelenggaraan haji sudah sangat modern.

Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan darat pun baru sebatas hewan tunggangan seperti kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada masa itu terutama bagi kaum muslimin yang tinggal jauh dari tanah suci seperti di Indonesia.

Kabarnya, dulu perjalanan menuju Makkah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh melalui laut dengan menggunakan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman.

Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.

Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Mereka pun kemudian mendapat gelar "Haji", sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.

Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.

Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.

Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.

Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam.

Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).

Di tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.

Menurut naskah Sejarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal.

Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.

Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.

Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara zaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan.

Hal ini menunjukkan pada zaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.

Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit zaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.*

Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita

Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita
Sebuah kisah pendek yang inspiratif, sebuah situasi yang cukup mencemaskan yang tengah dialami oleh seseorang. Benarkah, situasi yang begitu dilematis itu datang, dikarenakan jadwal shalat-nya yang setiap hari juga berantakan? Mari kita simak kisahnya...

Suatu hari, dulu saat awal memulai bisnis, saya mengalami situasi seperti ini; saya membuat janji pertemuan dengan tiga orang berbeda di kota Jakarta. Saat itu saya tinggal di Yogyakarta, dan tidak banyak memiliki kenalan di Jakarta. Sementara, kondisi keuangan saya saat itu untuk pergi ke Jakarta pun sedang 'pas-pasan'.

Dengan kondisi seperti itu, saya merasa kebingungan karena jadwal pertemuannya sudah diatur dari Jakarta. Pertemuan dengan Pak A direncanakan hari Senin siang, dengan Pak B hari Rabu pagi, sedangkan dengan Ibu C di hari Jumat sore.

Jika mau gampang, saya harus berangkat naik kereta Minggu malam dan menginap di Jakarta selama lima hari dan pulang kembali ke Yogya pada Jumat malam.

Masalahnya, dimana saya mau menginap? bagaimana biaya makannya selama lima hari itu? Salah-salah nggak bisa kembali pulang. Padahal ini pertemuan bisnis dan jadwalnya sudah di-arrange lama dan posisi orang yang mau saya temui itu para pengambil keputusan untuk penawaran kerja promosi.

Tentu saja, saya harus mengikuti jadwal mereka, karena posisi saya tak kuasa menentukan jadwal, saya yang membutuhkan mereka.

Pusing rasanya, saya memikirkan jadwal yang mustahil itu. Sampai seminggu menjelang harinya, saya bertemu seorang teman yang kebetulan dia adalah muslim yang taat dan pengetahuan agamanya cukup baik.

Dalam perbincangan kami sempat saya utarakan kesulitan saya itu, syukur bila ia bisa berbagi solusi. Saya pun curhat padanya. Teman saya hanya  mengangguk-angguk lalu bertanya pada saya, "Jadwal shalatmu gimana?"

"Jadwal shalat? Aduh, apa hubungannya?" jawab saya dengan nada keheranan.
"Iya, shalat subuh mu jam berapa?" tanpa menjawab pertanyaan saya, dia meneruskan pertanyaannya.


" Ya, jam setengah enam, jam enam, sebangunnya saya lah, kenapa," jawab saya.
"Shalat dhuhur jam berapa?" tanya dia lagi.
"Dhuhur? Jadwal sholat dhuhur ya biasanya jam 12" jawab saya.
"Bukan, maksudku jadwal shalat dhuhurmu itu jam berapa?" ia terus mendesak.
"Oooh, jam dua kadang setengah tiga biar langsung bisa shalat Ashar. Ah, tapi apa hubungannya dengan masalahku tadi?" saya tambah bingung.
Teman saya tersenyum dan berkata, "Pantas saja jadwal hidupmu berantakan, shalat mu saja nggak tentu jadwalnya"
"Lho kok, apa hubungannya?" saya tambah bingung.
"Kamu serius mau menyelesaikan masalahmu minggu depan ke Jakarta?" tanyanya lagi.
"Lha iya, makanya saya tadi cerita!" saya menyahut sedikit kesal.
"Beresin dulu jadwal shalat wajibmu. Jangan terlambat shalat, jangan ditunda-tunda, kalau bisa shalat berjamaah," jawabnya.
"Kok? Hubungannya apa?" saya makin penasaran.
"Kamu kerjakan saja dulu kalau mau, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa, yang punya masalah itu kan kamu bukan aku...," jawabnya.
Saya pun pamit, jawabannya sungguh tak memuaskan hati saya, "nggak nyambung," kata saya dalam hati.

Saya pun mencoba mencari cara lain sambil mengumpulkan uang saku untuk berangkat yang memang terbatas. Tetapi sehari itu sepertinya saya tidak menemukan jalan terang alias buntu.

Sampai akhirnya saya berpikir untuk mencoba sarannya. Saya pikir, toh tidak beresiko apa pun juga. Tapi memang, karena tidak terbiasa shalat yang teratur, rasanya berat sekali melakukanya. Sholat tepat waktu berat jika kita terbiasa menunda, malas-malasan, melaksanakannya di saat-saat terkhir waktu shalat.

Dua hari sudah saya jalani shalat teratur sesuai jadwal, tetapi tak terjadi apa-apa... makin yakin saya bahwa saran teman saya itu tidak berguna.

Tetapi di hari ketiga, ponsel saya berdering. Dari asisten Pak A, ia mengatakan, "Mas, mohon maaf sebelumnya, karena Pak A belum bisa ketemu hari Senin besok. Ada rapat mendadak dengan direksi. Saya belum tahu kapan bisa ketemunya, nanti saya kabari lagi."
.
Di ujung telepon saya ternganga, bukannya jadwal saya makin teratur ini malah ada kemungkinan dibatalkan. Makin jauh lagi logika saya untuk menemukan solusinya, tapi apa daya. Karena bingung, saya pun terus melanjutkan shalat saya teratur sesuai jadwalnya.

Di hari berikutnya, ponsel saya berdering lagi. Dari sekretaris Pak B. Ia mengatakan, "Mas, semoga belum beli tiket ya, karena Pak B ternyata ada jadwal general check up hari Rabu depan, jadinya tidak bisa ketemu. Tadi Bapak tanya bisa nggak ketemunya hari Jumat saja, jamnya mengikuti jadwal Mas."

Yang ini saya benar-benar membuat saya kaget. "Hari Jumat, berarti bersamaan dengan jadwalnya Ibu C? Dengan tenang saya pun menyahut, "Baik, tidak apa-apa Pak. Jumat pagi, jam 9 bisa, ya?"

Dari seberang sana menjawab, "Oke Mas, nanti saya sampaikan."
Alhamdulillah, saya berteriak dalam hati. Belum hilang rasa kaget saya, dering ponsel saya menyala lagi. Sebuah pesan pendek masuk dan tertulis dilayar:
"Mas, Pak A minta ketemuannya hari Jumat setelah Jumatan. Jam 13.30. Diusahakan ya Mas, tidak lama kok. 1 jam cukup."

Kontan saya sangat terkejut! Masya Allah, tanpa campur tangan saya sama sekali, jadwal pertemuan itu seolah menyusun dengan sendirinya. Saya sangat takjub! Begitu dahsyat kejutan ini, saya pun langsung sujud syukur ... sesujud-sujudnya.

Sungguh, keajaiban seperti ini takkan bisa didapatkan siapa pun, bahkan Seven Habits-nya Stephen Covey, tidak juga dari Eight Habbits tak akan mampu menjelaskan ini. Hanya Allah Ta'ala yang kuasa mengatur segala sesuatu dari Arsy-Nya disana.

Sampai saya meyakini satu hal yang hingga sekarang saya terapkan terus "Dahulukan jadwal waktumu untuk Allah maka Allah akan mengatur jadwal hidupmu sebaik-baiknya."

Jika dalam hidup ini kita mengutamakan Allah, maka Allah akan selalu menjaga hidup kita. Allah mengikuti perlakuan kita kepadaNya, makin teratur kita menyambut-Nya, makin teratur jadwal hidup kita.

Jadi inilah kunci sukses bisnis pertama yang saya bisa share ke teman-teman: Shalatlah tepat waktu, usahakan jamaah. Jika mau lebih memantapkannya lagi, lakukan shalat sunnah; qobliyah, ba'diyah, tahajjud, dhuha, semampunya.

Sahabat muslim, silakan dipraktekkan, Insya Allah jadwal kehidupan kita (baik secara personal, dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam berbisnis) akan lebih mudah dijalani.

Apa yang disampaikan pak Arief Budiman, sesungguhnya pengamalan dari hadits Nabi:


Abdullah bin ‘Abbas RA– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, "Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.

Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

(Hadits Sahih riwayat Imam Tirmidzi, Imam Ahmad)
Sumber cerita: M. Arief Budiman

Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita

Dahsyatnya Allah Mengatur Waktu Bagi Kita
Sebuah kisah pendek yang inspiratif, sebuah situasi yang cukup mencemaskan yang tengah dialami oleh seseorang. Benarkah, situasi yang begitu dilematis itu datang, dikarenakan jadwal shalat-nya yang setiap hari juga berantakan? Mari kita simak kisahnya...

Suatu hari, dulu saat awal memulai bisnis, saya mengalami situasi seperti ini; saya membuat janji pertemuan dengan tiga orang berbeda di kota Jakarta. Saat itu saya tinggal di Yogyakarta, dan tidak banyak memiliki kenalan di Jakarta. Sementara, kondisi keuangan saya saat itu untuk pergi ke Jakarta pun sedang 'pas-pasan'.

Dengan kondisi seperti itu, saya merasa kebingungan karena jadwal pertemuannya sudah diatur dari Jakarta. Pertemuan dengan Pak A direncanakan hari Senin siang, dengan Pak B hari Rabu pagi, sedangkan dengan Ibu C di hari Jumat sore.

Jika mau gampang, saya harus berangkat naik kereta Minggu malam dan menginap di Jakarta selama lima hari dan pulang kembali ke Yogya pada Jumat malam.

Masalahnya, dimana saya mau menginap? bagaimana biaya makannya selama lima hari itu? Salah-salah nggak bisa kembali pulang. Padahal ini pertemuan bisnis dan jadwalnya sudah di-arrange lama dan posisi orang yang mau saya temui itu para pengambil keputusan untuk penawaran kerja promosi.

Tentu saja, saya harus mengikuti jadwal mereka, karena posisi saya tak kuasa menentukan jadwal, saya yang membutuhkan mereka.

Pusing rasanya, saya memikirkan jadwal yang mustahil itu. Sampai seminggu menjelang harinya, saya bertemu seorang teman yang kebetulan dia adalah muslim yang taat dan pengetahuan agamanya cukup baik.

Dalam perbincangan kami sempat saya utarakan kesulitan saya itu, syukur bila ia bisa berbagi solusi. Saya pun curhat padanya. Teman saya hanya  mengangguk-angguk lalu bertanya pada saya, "Jadwal shalatmu gimana?"

"Jadwal shalat? Aduh, apa hubungannya?" jawab saya dengan nada keheranan.
"Iya, shalat subuh mu jam berapa?" tanpa menjawab pertanyaan saya, dia meneruskan pertanyaannya.
" Ya, jam setengah enam, jam enam, sebangunnya saya lah, kenapa," jawab saya.
"Shalat dhuhur jam berapa?" tanya dia lagi.
"Dhuhur? Jadwal sholat dhuhur ya biasanya jam 12" jawab saya.
"Bukan, maksudku jadwal shalat dhuhurmu itu jam berapa?" ia terus mendesak.
"Oooh, jam dua kadang setengah tiga biar langsung bisa shalat Ashar. Ah, tapi apa hubungannya dengan masalahku tadi?" saya tambah bingung.
Teman saya tersenyum dan berkata, "Pantas saja jadwal hidupmu berantakan, shalat mu saja nggak tentu jadwalnya"
"Lho kok, apa hubungannya?" saya tambah bingung.
"Kamu serius mau menyelesaikan masalahmu minggu depan ke Jakarta?" tanyanya lagi.
"Lha iya, makanya saya tadi cerita!" saya menyahut sedikit kesal.
"Beresin dulu jadwal shalat wajibmu. Jangan terlambat shalat, jangan ditunda-tunda, kalau bisa shalat berjamaah," jawabnya.
"Kok.. hubungannya apa?" saya makin penasaran.
"Kamu kerjakan saja dulu kalau mau, tapi kalau tidak juga tidak apa-apa, yang punya masalah itu kan kamu bukan aku...," jawabnya.
Saya pun pamit, jawabannya sungguh tak memuaskan hati saya, "nggak nyambung..." kata saya dalam hati.

Saya pun mencoba mencari cara lain sambil mengumpulkan uang saku untuk berangkat yang memang terbatas. Tetapi sehari itu sepertinya saya tidak menemukan jalan terang alias buntu.

Sampai akhirnya saya berpikir untuk mencoba sarannya. Saya pikir, toh tidak beresiko apa pun juga. Tapi memang, karena tidak terbiasa shalat yang teratur, rasanya berat sekali melakukanya. Sholat tepat waktu berat jika kita terbiasa menunda, malas-malasan, melaksanakannya di saat-saat terkhir waktu shalat.

Dua hari sudah saya jalani shalat teratur sesuai jadwal, tetapi tak terjadi apa-apa... makin yakin saya bahwa saran teman saya itu tidak berguna.

Tetapi di hari ketiga, ponsel saya berdering. Dari asisten Pak A, ia mengatakan, "Mas, mohon maaf sebelumnya, karena Pak A belum bisa ketemu hari Senin besok. Ada rapat mendadak dengan direksi. Saya belum tahu kapan bisa ketemunya, nanti saya kabari lagi."
.
Di ujung telepon saya ternganga, bukannya jadwal saya makin teratur ini malah ada kemungkinan dibatalkan. Makin jauh lagi logika saya untuk menemukan solusinya, tapi apa daya. Karena bingung, saya pun terus melanjutkan shalat saya teratur sesuai jadwalnya.

Di hari berikutnya, ponsel saya berdering lagi. Dari sekretaris Pak B. Ia mengatakan, "Mas, semoga belum beli tiket ya, karena Pak B ternyata ada jadwal general check up hari Rabu depan, jadinya tidak bisa ketemu. Tadi Bapak tanya bisa nggak ketemunya hari Jumat saja, jamnya mengikuti jadwal Mas."

Yang ini saya benar-benar membuat saya kaget. "Hari Jumat, berarti bersamaan dengan jadwalnya Ibu C? Dengan tenang saya pun menyahut, "Baik, tidak apa-apa Pak. Jumat pagi, jam 9 bisa, ya?"

Dari seberang sana menjawab, "Oke Mas, nanti saya sampaikan."
Alhamdulillah, saya berteriak dalam hati. Belum hilang rasa kaget saya, dering ponsel saya menyala lagi. Sebuah pesan pendek masuk dan tertulis dilayar:
"Mas, Pak A minta ketemuannya hari Jumat setelah Jumatan. Jam 13.30. Diusahakan ya Mas, tidak lama kok. 1 jam cukup."

Kontan saya sangat terkejut! Masya Allah, tanpa campur tangan saya sama sekali, jadwal pertemuan itu seolah menyusun dengan sendirinya. Saya sangat takjub! Begitu dahsyat kejutan ini, saya pun langsung sujud syukur ... sesujud-sujudnya.


Sungguh, keajaiban seperti ini takkan bisa didapatkan siapa pun, bahkan Seven Habits-nya Stephen Covey, tidak juga dari Eight Habbits tak akan mampu menjelaskan ini. Hanya Allah Ta'ala yang kuasa mengatur segala sesuatu dari Arsy-Nya disana.

Sampai saya meyakini satu hal yang hingga sekarang saya terapkan terus "Dahulukan jadwal waktumu untuk Allah maka Allah akan mengatur jadwal hidupmu sebaik-baiknya."

Jika dalam hidup ini kita mengutamakan Allah, maka Allah akan selalu menjaga hidup kita. Allah mengikuti perlakuan kita kepadaNya, makin teratur kita menyambut-Nya, makin teratur jadwal hidup kita.

Jadi inilah kunci sukses bisnis pertama yang saya bisa share ke teman-teman: Shalatlah tepat waktu, usahakan jamaah. Jika mau lebih memantapkannya lagi, lakukan shalat sunnah; qobliyah, ba'diyah, tahajjud, dhuha, semampunya.

Sahabat muslim, silakan dipraktekkan, Insya Allah jadwal kehidupan kita (baik secara personal, dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam berbisnis) akan lebih mudah dijalani.

Apa yang disampaikan pak Arief Budiman, sesungguhnya pengamalan dari hadits Nabi:
Abdullah bin ‘Abbas RA– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, "Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.

Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

(Hadits Sahih riwayat Imam Tirmidzi, Imam Ahmad)
Sumber cerita: M. Arief Budiman

Riwayat Kiswah, Busana Ka'bah dari Masa ke Masa

Riwayat Kiswah 'Busana' Ka'bah Dari Masa ke Masa
Ali bin Abi Thalib mengatakan, "Allah SWT memerintahkan para malaikat-Nya untuk membangun Baitullah di muka bumi dan melaksanakan thawaf disana." Peristiwa tersebut terjadi sebelum Adam AS diturunkan ke bumi.

Selanjutnya, Adam menyempurnakan bangunannya dan berthawaf disana dan diikuti oleh para nabi setelahnya. Kemudian, pembangunan Baitullah itu dilaksanakan kembali dan disempurnakan oleh Ibrahim AS bersama putranya, Ismail AS”

Penjelasan ini berdasarkan keterangan AlQuran surah Al-Baqarah [2] ayat 127 dan surah Al-Hajj [22] ayat 26. "Dan, ingatlah ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Rabb kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 127).


Dari keterangan ini, jelaslah bahwa yang pertama kali membangun Ka’bah adalah Nabi Adam AS. Dan, yang menyempurnakan pembangunan Ka’bah dengan memasang atau meninggikan pondasinya adalah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.

Pemakaian Kiswah pada Baitullah (Ka'bah) Kiswah yang artinya adalah pakaian, selanjutnya kata tersebut digunakan untuk menyebut kain penutup Ka'bah.

Dalam sejarahnya, Kabah diberi kiswah sejak jaman Ismail AS. Namun, tidak ada catatan yang mengisahkan kiswah pada masa itu terbuat dari apa dan berwarna apa. Baru pada masa kepemimpinan Raja Himyar Asad Abu Bakr dari Yaman, disebutkan kiswah yang melindungi Ka’bah dibuat dari kain tenun.

Kebijakan Raja Himyar untuk memasang kiswah sesuai tradisi Arab yang berkembang sejak jaman Ismail AS dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Sebagaimana disebutkan Muhammad bin Ishaq yang mengatakan, “Banyak Ulama’ menceritakan kepadaku, bahwa orang yang pertama kali memberi kiswah pada ka'bah adalah Tuba' As'ad al-Himyar."

Suatu ketika, dia bermimpi memasang kiswah Ka'bah, dan dia pun menutupi Ka'bah dengan al-Antha', yakni sebuah permadani yang terbuat dari kulit. Kemudian dia kembali bermimpi, mengenakan kiswah untuk Ka'bah, dan dia pun memasangnya menggunakan Al-Washayil, yakni kain berwarna merah, bergaris, buatan Yaman."(al-Azraqi, Akhbar Makkah, Mauqi' Jami' al-Hadits, 1/301)

Di Jaman Jahiliyah

Setelah masa Kerajaan Himyar, orang-orang di jaman jahililyah bergantian memasang kiswah. Mereka diperbolehkan memasang kiswah kapan saja dengan bahan apa saja.

Di antara jenis kain yang pernah digunakan untuk kiswah adalah al-Kasf (kain tebal), al-Ma'afir (kain buatan daerah Ma'afir), al- Mala' (kain halus, tipis), al-Washayil dan al-'Ashb, yang keduanya merupakan kain buatan Yaman yang ditenun dengan bambu.

Pada masa Qusay bin Kilab, salah seorang leluhur Rasulullah yang terkemuka, pemasangan kiswah pada Ka'bah menjadi tanggung jawab masyarakat Arab dari suku Quraisy. Mereka mewajibkan setiap kabilah untuk menanggung biaya pengadaan kiswah sesuai kemampuan masing-masing.

Sampai akhirnya datang Abu Rabi'ah bin al-Mughirah, dengan kekayaannya, dia sendiri yang menanggung biaya kiswah. Bahkan di saat kaum Quraisy sedang ditimpa paceklik. Karena itu, masyarakat arab menyebutnya dengan al-Adl (sepadan).

Karena jasa dia memasang kiswah telah sepadan dan menyamai amanah memasang kiswah yang menjadi tanggung jawab orang Quraisy. Untuk selanjutnya, keturunan Abu Rabi'ah diberi nama Bani al-Adl. (al-Azraqi, Akhbar Makkah, Mauqi' Jami' al-Hadis, 1/306).

Orang yang pertama kali memberi kiswah dengan kain sutera adalah Nutailah binti Janab, Ibunya Sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muthalib.

Kiswah Ka'bah Setelah Datangnya Islam
Pada masa Rasulullah berada di Mekkah, Ia dan para sahabat tidak memberikan kiswah untuk Ka'bah. Itu terjadi pada masa sebelum penaklukan kota Mekkah. Karena kaum Quraisy tidak mengijinkannya.

Setelah fathul Mekkah pun Rasulullah tidak mengganti kain kiswah yang menempel di Ka'bah, hingga kiswah tersebut terbakar karena seorang wanita yang ingin mengasapi kiswah dengan wewangian. Kemudian Nabi SAW menggantinya dengan kain buatan dari Yaman.

Pada masa Khulafa al-Rasyidin; Abu Bakr RA, Umar RA, dan Utsman RA, mereka memasang kiswah dari kain Qabathi (kain kapas, halus berwarna putih buatan Mesir). Pada masa Bani Umayyah, Khalifah Muawiyah RA, mengganti kiswah dua kali dalam setahun. Di hari 'Asyura dipasang dengan kain sutra dan di akhir Ramadhan dipasang dengan kain Qabathi.

Di masa Yazid bin Muawiyah, Abdullah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan, kiswah dipasang dua kali dalam setahun dengan bahan dari sutra. Kiswah pertama dipasang dalam keadaan digulung dan dijahit. Kiswah ini dipasang pada hari tarwiyah.

Tujuannya agar tidak disobek oleh jamaah haji. Kiswah kedua dipasang tanpa digulung, pada hari 'Asyura, setelah jamaah haji meninggalkan kota Mekkah. Kemudian dilepas pada 27 Ramadhan, dan diganti dengan kain Qubathi untuk menyambut Idul Fitri.

Di masa Khalifah al-Makmun, kiswah dipasang sebanyak empat lapis. Di lapis yang keempat Ia menggunakan kain warna putih. Menurut catatan sejarah, kiswah tidak selalu berwarna hitam pekat seperti saat ini. Kiswah pertama yang dibuat dari kain tenun dari Yaman justru berwarna merah dan berlajur-lajur.

Sedangkan pada masa Khalifah Makmun ar-Rasyid, kiswah dibuat dengan warna dasar putih. Kiswah juga pernah dibuat berwarna hijau atas perintah Khalifah An-Nasir dari Bani Abbasiyah (sekitar abad 16 M) dan kiswah juga pernah dibuat berwarna kuning berdasarkan perintah Muhammad ibnu Sabaktakin.

Penggantian kiswah yang berwarna-warni dari tahun ke tahun, rupanya mengusik benak Kalifah al-Mamun, hingga akhirnya diputuskan bahwa sebaiknya warna kiswah itu tetap dari waktu ke waktu yaitu hitam. Hingga saat ini, meskipun kiswah diganti setiap tahun, tetapi warnanya selalu hitam.

Pada tahun 810 H, dibuat kain penutup yang bermotif ukiran, dipasang di bagian luar Ka'bah, yang dinamakan al-Burq. Pembuatan dan pemasangan kain ini sempat dihentikan antara tahun 816 H - 818 H, dan baru dibuat serta dijadikan kiswah kembali tahun 819 H hingga sekarang.

Kiswah Ka'bah Hingga Saat Ini

Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman ‘Ali Su'ud mendirikan pabrik untuk pembuatan kiswah Ka'bah di Mekkah, dan menyediakan seluruh kebutuhan pembangunan. Proyek ini dilanjutkan putranya, Raja Faisal bin Abdul Aziz.

Dia memperbarui pabrik pembuatan kiswah, dan membangun gedung baru di daerah Ummul Jud Mekkah al Mukarramah. Pabrik kiswah ini dilengkapi peralatan modern untuk mencetak kain tenun dengan mempertahankan corak kerajinan tangan.

Di pabrik itu, kiswah dibuat secara massal. Semuanya disiapkan dari perencanaan, pembuatan gambar prototipe kaligrafi, pencucian benang sutera, perajutan kain dasar, pembuatan benang dari berkilo-kilo emas murni dan perak hingga pada pemintalan kaligrafi dari benang emas maupun perak, lalu penjahitan akhir.

Meskipun kiswah tampak hitam jika dilihat dari luar, namun ternyata bagian dalam kiswah itu berwarna putih. Salah satu kalimat yang tertera dalam pintalan emas kiswah adalah kalimah syahadat, Allah Jalla Jalallah, La Ilaha Illallah, dan Muhammad Rasulullah. Surat Ali Imran: 96, Al-Baqarah :144, surat Al-fatihah, surat Al-Ikhlash terpintal indah dalam benang emas untuk menghiasi kiswah.

Kaligrafi yang digunakan untuk menghias kiswah terdiri dari ayat-ayat yang berhubungan dengan haji dan Kabah juga asma-asma Allah yang dimuliakan. Hiasan kaligrafi yang terbuat dari emas dan perak tampak berkilau indah saat terkena cahaya matahari. 


jumrahonline | jumrah.com

Alasan Umat Muslim Menangadahkan Tangan Saat Berdoa

Alasan Umat Muslim Menangadahkan Tangan Saat Berdoa
Berdo'a merupakan aktivitas seorang hamba untuk meminta kepada Maha Pencipta, atas sesuatu apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Sebagaimana shalat, berdoa pun memiliki adab. Umat Muslim umumnya selalu menengadahkan tangan ke langit saat berdoa kepada Allah SWT usai shalat.

Adab ini menurut Rasulullah SAW menjadi salah satu alasan dihijabahnya doa seorang hamba. Lalu timbul pertanyaan, jika Allah Ta'ala tidak terikat arah, kenapa hambanya harus menengadahkan tangan saat berdoa?
Banyak hadits yang mengungkapkan tentang alasan Islam tentang menengadahkan tangan ketika berdoa. Bahkan sebagian para ulama mengatakan bahwa hadits-nya mencapai derajat mutawatir maknawi.

Berdoa dengan menengadahkan tangan sunnah hukumnya jika dilakukan saat berdoa meminta hujan, berdoa saat di bukit Shafa dan di Marwah, saat di Arafah, melempar jumrah 'ula di hari-hari tasyriq dan jumrah wustha. Namun menengadahkan tangan akan menjadi bid’ah ketika memanjatkan doa di tengah shalat. Misalnya doa saat antara dua sujud, saat tasyahud akhir.

Terkait pertanyaan kenapa hambanya harus menengadahkan tangan saat berdoa, seorang ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan bahwa hal ini berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, maka menangadahkan tangan seakan-akan langit merupakan kiblat saat berdoa.

Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 22 Allah Ta'ala berfirman, "Dan di langit ada rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan."

Langit memang menjadi tempat turunnya rezeki. Di sanalah Allah menurunkan hujan yang menjadi rahmat bagi manusia. Langit menjadi tempat para malaikat, dimana Allah memberi perintah kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penghuni bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka saat berdoa kedua telapak tangan kita diarahkan ke langit.


Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah Maha Hidup dan Mulia, Dia merasa malu dari hamba-Nya apabila ia mengangkat kedua tanganya kepada-Nya dan mengembalikannya dalam keadaan kosong." (HR. Abu Dawud 1488, Turmudli 3556 dengan sanad shahih, lihat Shahihul Jami’ 1753)
 

Hal ini mungkin menjadi alasan, kenapa Rasululah mengatakan bahwa menengadahkan tangan menjadi salah satu penyebab terkabul atau tidaknya doa. Dibalik itu, doa dengan menengadahkan tangan ke langit juga memiliki filosofi tentang Tuhan.

Mengangkat tangan saat berdoa menunjukkan bahwa Allah SWT berada di atas, tepatnya di Arsy di atas langit ke tujuh. Kegiatan ini menunjukkan kerendahan hamba di hadapan Tuhannya.

Menengadahkan tangan juga bermakna bahwa Allah Ta'ala adalah Dzat yang mengatur alam semesta, dan berbuat sekehendak-Nya. Oleh karena itulah Dia berhak diibadahi dan dimintai serta merendahkan diri kita pada Nya dengan serendah-rendahnya, karena memang barang siapa yang menyombong diri pada Nya akan memperoleh kehinaan.

Dalam mengangkat tangan juga menunjukkan bahwa Allah Dzat yang Maha Pengasih dan Pemurah, yang akan mengabulkan semua permintaan hamba Nya, tidak ada dosa yang tidak bisa diampuni oleh Nya, tidak ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi Nya, oleh karena itu Allah malu melihat hamba Nya yang mengangkat tangan pada Nya kemudian mengembalikannya dalam keadaan hampa, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah.

Semua syariat Allah Ta'ala pasti mengandung hikmah yang sangat tinggi tak terbatas. Akal pikiran kita terlalu lemah untuk bisa mengungkap hikmah dibalik semua syariat yang ditetapkan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Cukuplah bagi kita merupakan sebuah keutamaan kalau kita bisa mengungkap sebagiannya.

jumrah online | jumrah.com

Alasan Umat Muslim Menangadahkan Tangan Saat Berdoa

Alasan Umat Muslim Menangadahkan Tangan Saat Berdoa
Berdo'a merupakan aktivitas seorang hamba untuk meminta kepada Maha Pencipta, atas sesuatu apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Sebagaimana shalat, berdoa pun memiliki adab. Umat Muslim umumnya selalu menengadahkan tangan ke langit saat berdoa kepada Allah SWT usai shalat.

Nabi Ayyub, Mohon Kesembuhan Sakit, Lantunkan Doa Ini

Penyakit merupakan salah satu hal yang kerap dialami seseorang. Terkadang sifat penyakit tersebut ringan, terkadang pula berat. Hingga tak bisa sembuh selama bertahun-tahun.

Tatkala mengalami sakit yang berat, seorang Muslim selalu dituntut untuk bersabar. Di samping itu, dia juga dituntut untuk memohon kesembuhan kepada Allah SWT.

Terkait kesabaran dalam menghadapi penyakit, terdapat satu riwayat yang diabadikan dalam Alquran yang mengisahkan tentang
Nabi Ayyub Alaihis salam. Nabi Ayyub AS diuji oleh Allah Ta'ala menderita penyakit yang tidak kurun sembuh selama bertahun-tahun.

Tetapi, Nabi Ayyub AS tidak putus as dan menyerah dan terus memohon kesembuhan dengan berdoa kepada Allah Ta'ala. Doa Nabi Ayyub AS terabadikan dalam Alquran Surat Al Anbiyaa ayat 83. Berikut lafal doa tersebut.


"Robbi annii massaniyadh dhurru wa anta arhamar roohimiin."
 

Artinya:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang."


jumrahonline | jumrah.com