Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam

Ratusan ribu bahkan jutaan muslim asal Indonesia, hingga hari ini telah berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang ke sana sebagai tamu Allah, untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya.

Peziarah Haji dari Nusantara Masa Silam
Ratusan ribu bahkan jutaan muslim asal Indonesia, hingga hari ini telah berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang ke sana sebagai tamu Allah, untuk melaksanakan ibadah haji.

Mereka berpakaian seragam putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya.

Sejak mereka meninggalkan tanah air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan, dan sebagainya.

Di sana tidak ada lagi diskripsi yang bersifat material, oleh karena itu perbedaan golongan, ras, ekonomi, pangkat, bangsa ataupun status sosial hanya merupakan suatu pertunjukan 'panggung' secara komunal dalam kebersamaan antar umat manusia. Pemegang peran dalam panggung ini adalah masing-masing jamaah pelaksana ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama di mata Allah.

Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual haji ini, adalah pada 9 Dzulhijjah, saat mereka melakukan wuquf di Arafah. Tanpa wuquf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah ibadah hajinya. Sebagaimana Rasulullah menegaskan dalam sabdanya :

"(Ibadah) haji ini adalah wukuf di Arafah"


Sejak ratusan tahun umat muslim dari Indonesia telah banyak yang berangkat ziarah ke tanah suci Mekkah. Di masa, ketika masih menggunakan kapal layar hingga kini dengan pesawat terbang, niat umat muslim tanah air untuk pergi ke tanah suci tak pernah memudar.

Di dalam sebuah ceramahnya, Buya Hamka menyampaikan kisah tentang pelaksanaan haji umat muslim nusantara di masa lalu. Ia katakan bahwa sekitar tahun 1927 itu, sewa kapal layar seharga 165 rupiah pulang pergi. Meskipun di saat itu nilai 165 rupiah sudah mahal, tetapi umat muslim berbondong-bondong berangkat ke tanah suci.

Pada tahun 1950, di bulan Agustus, dikatakan harga sewa kapal laut sudah naik menjadi tujuh ribu rupiah, dan seterusnya naik menjadi sebesar 1,5 juta dan seterusnya.  Dari tahun ke tahun belum pernah harga sewa transportasi hingga hari ini turun, tetapi jumlah jamaah yang pergi ke Tanah Suci, tak pernah surut. Tahun 2015 lalu, tercatat hingga 150 ribu jamaah telah berangkat melaksanakan haji (belum terhitung yang pergi umrah).

Hamka mengatakan, ini adalah sebuah fakta betapa mustajab do'a Ibrahim AS kepada Allah Ta'ala agar Ka'bah (yang dibangunnya) itu menjadi 'magnet' yang menarik hati umat muslim di seluruh bumi untuk datang ke 'tanah yang suci', Mekkah al Mukaromah.

< sebelumnya  | selanjutnya >

* Ditulis oleh Erwin E Ananto