Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah

Jangan sampai, karena sekarang semua makin mudah, kita malah jadi lupa dan kehilangan esensi dari ibadah itu. Ibadah ke tanah suci itu harus ditunaikan sebagaimana ibadah, bukan berwisata.

Menolak Alpa Esensi Berhaji dan Umrah
Ibadah Haji adalah bermaksud mendatangi Bayt Allah SWT untuk amal ibadah tertentu dilakukan pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu pula. Sedangkan ibadah Umrah, secara lughawi, berarti al Ziyarah, dan secara istilah adalah mendatangi Baitullah untuk menunaikan ibadah tertentu, yakni thawaf dan sa'i.

Umrah merupakan sebagian dari rangkaian ibadah haji yang tidak bisa dilepaskan. Sehingga dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang melakukan ibadah umrah terlebih dahulu. Disamping umrah wajib, ada umrah sunnah yang dapat dilaksanakan kapan saja, baik pada musim haji atau pun waktu yang lain.

Para Ulama Fiqh menyepakati bahwa ibadah haji dan umrah hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan biaya, fisik dan waktu. Hal ini mengacu kepada firman Allah SWT;

"Dan Allah mewajibkan atas manusia, haji ke Baitullah bagi yang mampu mengerjakannya" (QS Ali Imran 97)

"Sempurnakan haji dan umrah (hanya) karena Allah" (QS Al Baqarah 196)

Quran Surat Ali Imran ayat 97 tersebut menjadi dasar bahwa haji diwajibkan hanya kepada umat Islam yang memiliki kemampuan.

Bulan Februari lalu, redaksi Jumrah Erwin E Ananto dan Handi Pramuditha menemui Wakil Amirul Haj Indonesia, KH Hasyim Muzadi, di kediamannya, untuk mendapatkan gambaran apa saja yang menjadi prasyarat kesempurnaan ibadah haji sehingga seseorang yang pulang dari ibadah ke tanah suci tersebut meraih kemabruran.

Berikut perbincangan kami:

Melihat Indonesia dengan jumlah jamaah haji dan umrah yang begitu besar, setiap tahunnya bisa mencapai ratus-ribuan orang. 


Menurut Kyai, bagaimana penanganan pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah di negeri kita ini?

Ya, menurut saya pelaksanaan kedua ibadah itu, terutama haji kita ini, kalau diharapkan sempurna itu sangat sulit. Bisa jadi memang nggak bisa. Karena, antara orang yang mau berangkat jumlahnya terus menerus bertambah, sedangkan kemampuan melayani dari pemerintah masih terbatas. Jadi tidak seimbang. Saya katakan, ya sudah seperti ini saja sebaiknya... Alhamdulillah.

Kalau ada orang yang berpikiran mau diswastakan atau sebagainya, lha ya malah 'hancur-hancuran'. Itu nanti bisa jadi seperti TKI dan TKW, yang setiap orang ikut-ikutan mengurusi, dan malah banyak yang terlantar disana, nggak bisa pulang dan segala macam bisa terjadi. Ya, sudah dilakukan saat ini ya seperti ini saja sudah cukup, sekali pun pemerintah menangani pun belum sempura.

Tidak sempurnanya kenapa, Kyai?

Ya, pertama karena jumlah orang yang ingin naik haji, tidak imbang dengan kemampuan quota-nya. Quota-nya hanya satu persen dari jumlah penduduk, yang ingin haji lebih dari dua sampai tiga persen. Jadi sisanya mengantri dan harus menunggu lama.

Dalam masalah ini, perlu orang yang sudah naik haji, mestinya mendukung mereka yang belum haji. Jangan pula, yang sudah haji, naik haji lagi, sementara yang lainnya lama kebagian.
 

Kedua, karena tidak imbangnya antara kemampuan dengan kemauan, maka umrah menjadi jalan keluar, karena tidak terikat waktu. Nah, tinggal sekarang, umrah ini yang terpenting adalah fokus ibadahnya harus terus ditingkatkan, jangan pada pariwisatanya. Kemabruran itu disebabkan karena kesucian niatnya, kebersihan bekalnya, kebersihan manasiknya. Itu yang harusnya diutamakan.

Kalau soal akomodasinya itu terserah kemampuan 'isi saku' masing-masing jamaah. Semakin mahal hotelnya yang pasti semakin baik.

Tapi bagaimana orang haji dan umrah bisa meraih kemabruran?

Ya itu harus fokus pada esensinya. Jangan bicara melulu soal sarananya, meributkan misalnya, tenda yang robek atau roboh, makanan yang kurang sesuai, meskipun itu memang penting. Tetapi kenapa tidak memberi perhatian, pada wuqufnya orang-orang kurang sempurna, kesalahan-kesalahan waktu tawaf, dan dari sisi fiqh. Mestinya kan begitu. namun sayangnya itu tidak dilakukan.

Semua itu diperlukan persiapan tidak hanya fisik, mental, tapi juga amalan yang dilakukan sebelum, selama di tanah suci, dan pasca berhaji. Kita musti menata hati kita dulu sebelum berangkat agar muncul keikhlasan. Penataan hati dalam menyambut ibadah terbesar dalam rukun Islam itu sangat penting agar ketika beribadah di tanah suci terasa hingga batin kita.

Jadi mereka yang mau berhaji harus ancang-ancang melengkapi shalatnya, melaksanakan kewajiban terhadap Allah, perbaiki hubungan antar manusia, dan perbanyak sunnah, dan yang lainnya, mengikuti pelatihan manasik itu juga dari pembentukan niat, hukum manasiknya, peralatan yang halal.

Apakah seorang calon jamaah harus melakukan sendiri atau perlu adanya pembimbing?

Calon Jamaah ini akan bisa menata diri, membangun keikhlasannya, ya perlu dilatih, dibimbing, diberitahu mana yang salah mana yang benar. Nah, yang membimbing ini siapa? Bisa kelompok-kelompok yang mengkoordinir, atau pun pihak yang ditunjuk oleh pemerintah. Dan semua itu harus dilakukan secara intensif, tidak bisa secara dadakan.

Sayangnya, petugasnya sendiri pada umumnya tidak menahami hukum syari'at. Sehingga dengan demikian mestinya, prolog haji sebelum enam bulan sudah disiapkan semacam orientasi dan pelatihan dalam bentuk manasik, ataupun pemondokannya, bagaimana menumbuhkan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Jadi artinya, untuk pelaksanaan haji, peran itu harus dilakukan oleh Pemerintah?

Ya, karena kalau Haji itu menjadi urusan pemerintah, sedangkan KBIH-KBIH hanya bisa membantu kelompoknya saja. Disisi lain untuk Umrah, tentu menjadi tanggung jawab penyelenggaranya, untuk pelaksanaannya pemerintah tidak terlibat secara langsung.

Kalau pun penyelenggara umrah saat ini belum fokus pada esensi ibadah untuk para jamaah, Apakah peran mereka belum optimal, bagaimana menurut Kyai?

Ya sudahlah, sekarang masing-masing jamaah dan kelompoknya bisa memilih pembimbing yang mukhlis (seorang ikhlas), cakap dan cerdas. Yang ikhlas itu, ya dia punya niat beribadah, membantu jamaahnya bisa mabrur.

Sekarang coba disurvei saja, dikelompokkan diantara jamaah umrah itu berapa yang memang niat ibadah, berapa yang cuma ingin tahu Makkah, dan berapa yang punya niat lain, dan sebagainya. Dari indeks yang didapat, bisa tahu yang mana harus dibimbing secara serius.
 

Saya pikir itu penting dilakukan, karena kita sadar persepsi kita tentang ibadah itu masih rendah, mereka mengira kalau sudah berangkat haji atau umrah itu semua amal ibadahnya sudah beres.

Bagaimana pandangan Kyai, dari sisi keikhlasan para jamaah dalam beribadah haji hari ini dibanding mereka di masa lalu?

Hehe... dulu jaman Ayah saya, kalau orang berangkat Haji itu sudah tanda tangan mati. Karena dari berangkat sampai kembali itu perlu waktu enam sampai tujuh bulan, dan itu tidak jelas bagaimana keselamatannya disana. Sehingga saat orang itu berangkat biasanya digelar ritual keagamaan. Ya ditahlil, ya diadzani, berfadilah untuk amalan yang perjalanannya berisiko pada keselamatannya.

Di masa lalu, haji belum dikelola oleh pemerintah. Jamaah itu berangkat ikut rombongan haji bersama Syeikh. Mereka berangkat dengan kapal laut, bekalnya pun bukan beras tapi 'karak' alias nasi kering. Dari Jawa menuju Banda Aceh, maka itu kota ini disebut Serambi Makkah, menunggu kapal yang menuju Jeddah.

Sampai di Jeddah, mereka naik unta menuju Makkah dan Madinah, mendirikan tenda untuk istirahat dan bermalam di tengah padang pasir, berbulan-bulan. Bisa dibayangkan bagaimana keselamatan mereka. Situasi di tengah padang pasir itu pasti tidak selalu aman. Bisa saja mereka terserang penyakit, mengalami perampokan, pembunuhan setiap saat.

Jadi sekarang, jika semua sarana saat ini sudah tersedia, harusnya diterima sebagai suatu 'kemudahan' dari Allah SWT untuk menunaikan ibadah, memenuhi panggilan Allah dengan penuh keikhlasan.

Artinya, amal ibadah, baik haji atau umrah yang saat ini bisa ditempuh hanya dengan waktu yang singkat, bisa memperoleh nilai amal yang lebih di mata Allah. Jangan justru, kalah dengan mereka di masa silam yang memakan waktu berbulan-bulan dan jauh dari rasa aman.

Tapi ya, yang namanya manusia pragmatis-nya itu bertambah tinggi. Ya, seperti ini sajalah. Dulu dengan sekarang, orangkan lebih pinter sekarang... tapi untuk 'jujur', orang dulu lebih jujur, itulah sebabnya doa'anya manjur... (tertawa)


Lalu, solusinya bagaimana, Kyai?

Ya, kalau kita sudah tahu seperti itu sifat masyarakat kita, maka harus terus-menerus didorong agar keikhlasan dalam beribadah itu bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Jangan sampai, karena semua makin mudah, kita malah jadi lupa dan kehilangan esensi dari ibadah itu. Ibadah ke tanah suci itu harus ditunaikan sebagaimana ibadah, bukan berwisata.

Yang terpenting saat ini adalah esensi ibadah ini harus sungguh-sungguh dipertahankan. Kesadaran seperti ini harus dibangun terus, baik oleh masing-masing jamaah secara personal mau pun para petugas yang membimbing mereka di sana.

Kuncinya yang penting bagi mereka yang mau berangkat haji atau pun umrah, pertama yang harus diperbaiki dulu adalah niatnya, ditata hatinya. Kedua, penataan dan pelaksanaan hukum haji. Mereka yang berhaji harus mengikuti manasik agar paham rukun haji dan aturannya. Kalau kita tidak mengerti (hukum haji) sengsara.

Dan ketiga, peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk haji, dan itu bagian dari syariah juga buat mereka yang berkemampuan dan berkompeten dalam perjalanan haji itu sendiri. Tiga saja itu cukup, Insya Allah ibadahnya mabrur.


Erwin E Ananto | Jumrah.com